TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil PNS Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Amri Zaman, Rabu (18/6/2014).
Amiri dimintai keterangan sebagai saksi terkait penyidikan dugaan korupsi keberatan wajib pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA) tahun 1999 dangan tersangka Hadi Purnomo.
"Yang bersangkutan (Amri) akan diperiksa untuk tersangka HP (Hadi Purnomo)," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha.
Selain Amri, penyidik juga memanggil pensiunan PNS Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Achmad Syarifuddin Alsah untuk kasus yang sama.
Sayangnya, Priharsa belum mengetahui materi pemeriksaan kedua orang ini. Hanya saja kata dia, pemeriksaan keduanya untuk melengkapi berkas penyidikan tersangka.
"Dia juga diperiksa sebagai saksi. Untuk melengkapi berkas penyidikan HP," kata Priharsa.
Diketahui, sejak ditetapkannya Hadi sebagai tersangka kasus yang diduga merugikan keuangan negara senilai Rp 375 miliar ini, KPK baru memeriksa pihak-pihak dari unsur Ditjen Pajak.
Sedangkan dari unsur BCA sampai hari ini belum diperiksa KPK. Padahal BCA selaku pemohon atas keberatan pajak tersebut.
Kasus ini bermula saat Direktorat PPH di Direktorat Jenderal Pajak kala itu menangani kasus dugaan pengemplangan pajak. Direktorat PPH pun sempat menolak keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia.
Namun, belakangan, keputusan diambil alih Hadi Poernomo lewat nota dinas yang dikeluarkannya menerima permohonan tersebut.
Hadi pun kemudian menjadi tersangka dalam kasus yang diduga merugikan negara Rp375 miliar itu. KPK menemukan dua alat bukti yang cukup untuk memulai penyidikan terhadap mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan itu.
Dari informasi yang dihimpun, Hadi selaku Dirjen Pajak mengabulkan permohonan keberatan pajak BCA melalui nota dinas bernomor ND-192/PJ/2004/ pada 17 Juni 2004.
Dalam salinan nota dinas yang dikeluarkannya, Hadi menyebutkan sejumlah alasan pengabulan permohonan keberatan pajak BCA atas terdapatnya koreksi fiskal pemeriksa pajak senilai Rp5,5 triliun.
Salah satu alasannya, Hadi beralasan BCA dianggap masih memiliki aset dan kredit macet yang ditangani Badan Penyehatan Perbankan Nasional sehingga koreksi Rp5,5 triliun itu dibatalkan.
Namun karena pembatalan tersebut, negara kehilangan pajak penghasilan dari koreksi penghasilan BCA sebesar Rp375 miliar.