TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan jika pengusutan dugaan kasus dugaan korupsi permohonan keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA) yang telah menyeret mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Hadi Poernomo tidak mandek alias jalan di tempat. Lembaga pimpinan Abraham Samad ini memastikan bahwa kasus tersebut akan terus dikembangkan.
"Masih dikembangkan. Ngga (mandek), apalagi sampai KPK menghentikan penyidikan," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi, Minggu (21/9/2014).
Hal itu ditegaskan Johan sekaligus mengonfirmasi anggapan jika kasus tersebut terbengkalai lantaran sudah hampir beberapa waktu lembaga superbody ini tak mengagendakan pemeriksaan saksi. Terlebih, hingga saat ini belum satu pun petinggi BCA yang diperiksa KPK. Padahal, sebelumnya ketua KPK, Abraham Samad memastikan jika pihaknya segera memeriksa petinggi BCA untuk mengurai dan menelisik lebih lanjut kasus tersebut.
"Saya belum tahu, menurut penyidik belum ada jadwal (pemeriksaan petinggi BCA)," imbuh Johan.
Menurut informasi yang dihimpun, KPK saat ini masih menelusuri apa keuntungan yang didapat Hadi dalam penyalahgunaan wewenang. Santer kabar, Hadi mendapat jatah saham lewat salah satu perusahaan kongsian dia dengan salah satu petinggi BCA.
'Pelicin' itu diduga diberikan lantaran Hadi saat masih menjabat Dirjen Pajak telah menerima keberatan wajib pajak yang diajukan BCA.
Johan menjawab diplomatis saat disinggung soal penelusuran aset tersebut. Johan mengaku belum menerima informasi mengenai hal itu.
"Belum ada info," imbuhnya.
Diketahui, mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo yang saat itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Diduga perbuatan Hadi merugikan negara sekitar Rp 375 miliar.
Dalam kasus itu, Direktorat Pajak Penghasilan (PPh) pernah mengusut dugaan pengemplangan pajak yang diduga dilakukan BCA. Sumihar Petrus Tambunan selaku Direktur Pajak Penghasilan pada 2003 lalu yang langsung mempelajari dokumen-dokumen yang disertakan BCA sebagai bukti pengajuan keberatan pajak.
Direktorat PPh setahun kemudian merampungkan kajiannya. Berdasarkan kajian tersebut, Direktorat PPh membuat risalah atas surat keberatan pajak BCA pada 13 Maret 2004. Isi risalah itu secara garis besar menyebutkan sebaiknya Dirjen Pajak menolak permohonan keberatan pajak BCA. BCA diwajibkan melunasi tagihan pembayaran pajak tahun 1999 sebesar Rp 5,77 triliun. Untuk pelunasannya, BCA diberi tenggat hingga 18 Juni 2004.
Dokumen risalah tadi selanjutnya diserahkan ke meja Dirjen Pajak yang kala itu dijabat Hadi Poernomo. Sehari sebelum tenggat BCA membayar tagihan pajaknya (17 Juli 2004), Hadi menandatangani nota dinas Dirjen Pajak yang ditujukan kepada bawahannya, Direktur PPh.
Isi nota dinas ini bertolak belakang dari risalah yang dibuat Direktur PPh. Hadi justru mengintruksikan kepada Direktur PPh agar mengubah kesimpulan risalah yang awalnya menolak menjadi menyetujui keberatan.
Pada kasus itu, Direktorat PPH di Direktorat Jenderal Pajak menangani kasus dugaan pengemplangan pajak. Direktorat PPH pun sempat menolak keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia. Belakangan, keputusan itu dianulir Hadi Poernomo lewat nota dinas yang dikeluarkannya. Negara kehilangan pajak penghasilan dari koreksi penghasilan BCA sebesar Rp 375 miliar karena pembatalan tersebut.