News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Demokrat Minta Semua Pihak Bijak Masuknya Pasal Penghinaan Presiden di RUU KUHP ‎

Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Gusti Sawabi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Didik Mukriyanto

 Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA‎ - Pihak Istana menyebutkan draft RUU sudah diajukan sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Termasuk pasal penghinaan kepada presiden yang menjadi pro kontra.

Hal itupun mendapatkan tanggapan dari Sekretaris Fraksi Demokrat Didik Mukriyanto. Didik mengungkapkan proses Legislasi sepenuhnya menjadi tugas dan tanggung jawab yang harus dijalankan bersama-sama antara Parlemen dan Presiden yang sedang menjabat.

"Betul, delik tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wapres sebagai bagian simbol negara pernah diajukan dalam RUU KUHP pada Masa Pemerintahan Presiden SBY. Hakekat Pengelolaan Pemerintah yang baik adalah melanjutkan setiap keberhasilan dan memperbaiki kekurangan Pemerintahan sebelumnya," kata Didik ketika dikonfirmasi Tribunnews.com, Minggu (9/8/2015).

Ia mengatakan RUU KUHP yang pernah diajukan pada masa Presiden SBY yang lalu belum pernah dilakukan pembahasan. RUU KUHP ini menjadi atensi dan kebutuhan bersama bangsa ini dalam rangka mewujudkan Integrated Criminal Justice System. Maka sudah selayaknya DPR dan Presiden Jokowi mempunyai komitmen utuh secara bersama-sama untuk merealisasikan hal tersebut," tuturnya.

Anggota Komisi III DPR itu menegaskan RUU KUHP
adalah inisiatif Pemerintah maka Pemerintah Jokowi mempunyai hak sepenuhnya untuk menyempurnakan apabila draft RUU yang sebelumnya dirasakan perlu penyempurnaan.

Selain itu lahirnya RUU tersebut melalui proses diskusi panjang dan komprehensif yang melibatkan tokoh, akademisi, praktisi seluruh pemangku kepentingan. Demikian pula dalam pembahasan RUU nantinya, DPR dan Pemerintah akan terus melibatkan seluruh komponen masyarakat.

"Bahwa masuknya pasal penghinaan Presiden dan Wapres dalam RUU KUHP tersebut, kita harus tetap bijak dalam menanggapinya. RUU tidak akan serta merta menjadi keputusan sesaat. Pembentukan UU akan melalui proses pembahasan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. Ruang diskusi, ruang berpendapat masih sangat terbuka lebar. Pengayaan substansi akan menjadikan sempurnanya pembentukan UU," katanya.

Ia mengingatkan terkait hal tersebut bahwa penghinaan, fitnah, pencemaran nama harus dicegah dan tidak boleh terjadi terhadap siapapun termasuk kepada Kepala Negara dan simbol-simbol kenegaraan. Penguasa, kata Didik, juga tidak boleh semena-mena menggunakan kekuasaannya untuk menakuti dan mengekang kebebasan masyarakat dalam melakukan kritik dan pendapatnya.

"Baik Pemerintah dan masyarakat harus sama-sama mendapat perlakuan dan perlindungan hukum yang sama dan proporsional dari perbuatan penghinaan, fitnah, pencemaran nama baik dan kesewenang-wenangan penguasa," katanya.

Sebelumnya diberitakan, Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki menjelaskan, draf revisi KUHP sebetulnya telah diajukan sejak pemerintahan Presiden SBY. Namun, saat itu pembahasannya belum tuntas.

"Putusan MK kan tahun 2006. Kemudian pemerintahan SBY usulkan 2012, tapi tidak tuntas pembahasannya, sehingga dikembalikan lagi pada pemerintah. Lalu oleh Menkum HAM sama DPR diputuskan untuk masuk dalam prolegnas tahun 2015. Jadi secara substansi sebenarnya hampir sama dengan yang diusulkan pemerintahan lalu," kata Teten.

Menurut Teten, revisi KUHP soal pasal penghinaan presiden tengah disusun agar lebih matang. Dengan tujuan hasil revisi ini memberikan interpretasi penegakan hukum yang lebih jelas.

"Kalau sekarang yang di KUHP itu pasal karet, siapa pun bisa dikenakan tergantung interpretasi penegak hukum. Kalau yang di RUU yang baru itu pasalnya lebih tegas," imbuhnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini