Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Politikus PKS Aboebakar Al Habsy menegaskan pasal penghinaan terhadap presiden bertentangan dengan UUD 1946. Hal itu terkait dengan adanya putusannya bernomor 013-022/PUU-IV/2006 delik penghinaan terhadap kepala negara yaitu pasal 134, 136 dan 137 KUHP telah dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945.
Ia menilai upaya untuk menghidupkan pasal-pasal yang demikian akan memiliki tiga makna. Pertama, adanya upaya menghidupkan kembali pasal ini, dapat dikatakan ini upaya melawan konstitusi.
"Karena MK telah menyatakan kaidah pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi," kata Aboe melalui pesan singkat, Minggu (9/8/2015).
Kemudian, Aboe juga melihat usulan tersebut
melecehkan MK karena tidak menghargai putusan lembaga tersebut yang seharusnya memiliki kekuatan final and binding.
Ketiga, bila pasal tersebut diusulkan oleh seorang presiden, maka presiden telah memberikan contoh yang tidak baik kepada masyarakat. "Karena seharusnya menghormati kewenangan dan posisi MK sebagai lembaga penjaga konstitusi," tutur Anggota Komisi III DPR itu.
Ia meminta semua pihak memahami delik penghinaan terhadap kepala negara ini merupakan delik formal dan biasa. Artinya sepanjang unsur-unsur deliknya terpenuhi maka lengkaplah tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.
"Presiden tidak perlu membuat pengaduan untuk memproses tindak pidana ini ke hadapan hukum. Kepolisian dari sisi hukum dipandang cukup memiliki legal standing untuk langsung memproses tindak pidana ini tanpa menunggu persetujuan dari Presiden," ujarnya.
Secara historis, kata Aboe, pasal ini sejatinya dibuat untuk melindungi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dari kritikan atau serangan para pejuang kemerdekaan Indonesia. "Tentunya, kita semua tidak ingin kembali lagi pada zaman kelam masa lalu seperti itu," imbuh Aboe