TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jelang pelaksanaan pilkada serentak Desember mendatang, berbagai spanduk mulai bertebaran di beberapa wilayah. Tak terkecuali, spanduk yang berisi penolakan negara membiayai kampanye calon kepada daerah pada pilkada serentak tahun 2015 bertebaran di sejumlah kawasan di Jakarta.
Di depan pintu masuk Gedung DPR RI misalnya, terdapat beberapa spanduk dari beberapa organisasi yang intinya menolak negara menanggung dana kampanye calon kepala daerah.
Spanduk dari Kaukus Peduli Demokrasi yang bertuliskan “Tolak UU Pilkada Yang Biayai Kampanye Calon Kepala Daerah Pakai APBD/APBN” terpampang jelas di pintu masuk bagian belakang Kompleks Senayan.
Ada lagi spanduk dari Aliansi Masyarakat Pengawas Pemilu bertuliskan “Dana Kampanye Oleh Calon Kepala Daerah, Bukan Oleh Negara.
”Lalu ada spanduk dari Front Mahasiswa Peduli Pemilu yang bertuliskan “Krisis Ekonomi, Negara Jangan Danai Kampanye Calon Kepala Daerah.”
Spanduk-spanduk tersebut juga terlihat jelas di areal Pancoran menuju Kuningan, hingga ke Senayan. Spanduk yang sama juga terpampang di ruas jalan Jenderal Sudirman, Salemba dan di beberapa tempat lainnya.
Menyikapi munculnya spanduk-spanduk tersebut, Direktur Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti di Jakarta, Senin (14/9/2015), mengatakan, untuk konteks saat ini kemunculan spanduk-spaduk itu sangat tepat karena belum tepat negara membiayai kampanye calon kepala daerah.
Karena itu, pihaknya mengharapkan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi Pasal 65 Ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada), khususnya soal dana kampanye yang dibiayai negara.
Saat ini, masalah biaya pilkada telah digugat ke MK. Penggugatnya adalah dua warga negara Indonesia yakni Nu’man Fauzi dan Achiyanur Firmansyah.
Kuasa hukum penggugat, Andi Muhammad Asrun mengatakan, pihaknya sudah mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 65 Ayat (2) tentang kampanye yang dibiayai oleh negara.
Andi Asrun mengatakan, ada beberapa alasan mengapa pihaknya menggugat UU Pilkada tersebut, khususnya soal biaya kampanye yang dibiayai negara melalui APBD.
Pertama, UU Pilkada ini bersifat diskriminatif, di mana ada perbedaan perlakuan bagi calon yang memiliki latar belakang sebagai petahana dan non petahana.
Kedua, UU ini melegitimasi terjadinya pemborosan uang negara. Ketiga, UU ini memanjakan pasangan calon pilkada karena semua biaya kampanye ditanggung negara.
Ray Rangkuti mengatakan, pihaknya mendukung gugatan tersebut dan meminta majelis hakim konstitusi mengabulkannya.