TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi X DPR Teuku Riefky Harsya menegaskan tidak ada penyelundupan pasal kretek tradisional dalam RUU Kebudayaan.
Pasal tersebut kata Riefky dibahas dalam rapat resmi pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama Panja RUU Kebudayaan Komisi X DPR RI.
"Faktanya 'penyelundupan' itu tidak terjadi," ujar Riefky dalam pernyataannya, Senin(5/10/2015).
Riefky menjelaskan RUU Kebudayaan mulai dibahas oleh DPR-RI periode 2009-2014 yang lalu, namun tidak selesai hingga masa periode lalu berahir.
Dalam Prioritas Rencana Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah tahun 2015-2019, yang ditetapkan pada 9 Februari 2015 oleh Ketua DPR RI pada nomor 39 tertera RUU Kebudayaan sebagai RUU prioritas yang merupakan inisiatif DPR.
Adapun penyusunan UU dilakukan melalui sejumlah tahap, yaitu perencanaan untuk diusulkan masuk ke dalam Prolegnas, penyusunan oleh Panitia Kerja (Panja) Komisi yang mencakup kegiatan pengusulan RUU, harmonisasi dan penyempurnaan serta pembahasan yang mencakup pembahasan tingkat I dan pembahasan tingkat II.
"Banyak pihak setuju bahwa kretek tradisional adalah warisan budaya, tetapi banyak pihak juga yang tidak setuju jika kretek tradisional dicantumkan sebagai warisan budaya dalam RUU Kebudayaan. Yang kemudian berkembang di publik terjadi 'penyelundupan' pasal kretek ke dalam RUU Kebudayaan yang dilakukan pada saat pembahasan di Baleg," kata Politisi partai Demokrat ini.
Lebih jauh Riefky menjelaskan ada beberapa hal yang menjadi kesepakatan dalam rapat.
Pertama, Komisi X DPR memberikan kesempatan kepada perwakilan fraksi-fraksi di komisi X DPR untuk berkoordinasi kembali dengan Pimpinan Fraksinya masing-masing guna memberikan penjelasan kronologi perumusan substansi 'kretek tradisional' dalam RUU tentang Kebudayaan, pada tahapan harmonisasi di Baleg.
Kedua, Rapat Intern Komisi X DPR selanjutnya akan membicarakan kembali tentang kesepakatan komisi atas pencantuman atau penghapusan substansi 'kretek tradisional' dalam RUU Kebudayaan.
"Berikutnya, jika penghapusan substansi 'kretek tradisional' dalam RUU Kebudayaan menjadi kesepakatan, maka Pimpinan Komisi X DPR RI akan berkoordinasi dengan alat kelengkapan Dewan lainnya terkait mekanisme penghapusan pasal," ujar Riefky
Adapun dasar hukum untuk perubahan materi RUU (penghapusan pasal) dapat mengacu pada:
(1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD 3 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 42 tahun 2014;
(2) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, dan;
(3) Peraturan DPR RI Nomor 3 Tahun 2012 tentang Tara Cara Penarikan RUU.
"Dengan demikian Kami berpandangan masih terdapat ruang kepada pengusul RUU (Komisi X) untuk melakukan perubahan terhadap sebuah RUU , kendati telah dilakukan harmonisasi di Baleg," tutup Riefky.