News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tak Mau Komentari Pengadilan Tragedi 1965, Luhut: Takut Ada yang Gede Rasa

Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menko Polhukam Luhut Pandjaitan

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Amriyono Prakoso

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan enggan menanggapi pengadilan rakyat di Belanda yang menggelar sidang dengar pendapat terkaittragedi 1965.

"Jangan dikomentari nanti ada yang GeEr (gede rasa) kalau dikomentari," ujarnya usai membuka Rakernas Pemuda Pancasila di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (13/11/2015).

Sidang yang digelar di Den Haag itu membahas tudingan aktivis yang menyebut Pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas tewasnya ratusan ribu orang dalam tragedi 65.

Selain itu, Luhut memastikan bahwa saat ini Pemerintah Indonesia tidak akan melakukan permintaaan maaf kepada para korban.

Menurut dia, gerakan PKI yang melakukan makar terhadap Indonesia telah hilang sejak tahun 1965.

"Bagaimana mau meminta maaf, orang PKI sudah hilang," tambahnya.

Sebelumnya, Setidaknya 16 saksi akan menghadiri pengadilan rakyat kasus pelanggaran HAM 1965 (International People's Tribunal), Selasa (10/11/2015) di Den Haag, Belanda.

Dikutip dari VOA News, tujuh hakim dan pengacara internasional pun akan hadir untuk menilai sembilan tuduhan diantaranya pembunuhan massal, penculikan, penganiayaan, kekerasan seksual, dan campur tangan negara lain dalam tragedi 1965.

Koordinator Umum International People's Tribunal 1965, Nursyahbani Katjasungkana, mengatakan bahwa persidangan itu akan menjadi ajang untuk mengungkap tragedi pembunuhan massal 1965.

"Kami ingin membuka mata dunia terhadap kasus tersebut," ucapnya.

Sedangkan, dalam profil situs resmi 1965tribunal.org, tertulis bahwa misi persidangan tersebut adalah memeriksa bukti tindak kriminal yang melanggar HAM, mengembangkan catatan rekam ilmiah dan kronologi yang akurat, serta mengaplikasikan prinsip hukum internasional untuk mengumpulkan bukti.

"Testimoni akan diberikan oleh beberapa korban dan politisi yang diasingkan dari Indonesia dan hidup di negara lain," demikian isi rilis pernyataan dalam situs tersebut.

Persidangan yang akan digelar pada 10 - 13 November 2015 itu didukung berbagai organisasi, pengacara internasional, aktivis, dan peneliti di Indonesia serta negara-negara lain, di bawah koordinasi Nursyahbani dan Prof Dr Saskia E. Wieringa.

Di samping itu, menurut De Groene Amsterdammer, persidangan di Den Haag itu akan menjadi ajang pertama kalinya saksi tragedi 1965 tampil di depan publik dan diharapkan dapat menggerakkan pemerintah untuk melakukan sesuatu atas itu.

Nursyahbani sempat menuntut permintaan maaf dari pemerintah Indonesia untuk keluarga korban tragedi tersebut.

Namun, Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa pemerintah belum ada rencana untuk berbuat demikian.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini