"Turunkan harga pengobatan Hepatitis C agar bisa terjangkau masyarakat Indonesia." demikian Petisi Ayu.
Ayu Oktariani memulai petisinya di Change.org dengan meminta perusahaan farmasi PT. Roche Indonesia sebagai pemilik paten obat Hepatitis C jenis Pegylated Interferon agar menurunkan harga supaya terjangkau masyarakat Indonesia.
"Petisi itu menang karena kemudian ditanggapi oleh kementerian kesehatan," kata Ayu bersemangat.
"Saya juga langsung ditelepon perusahaan farmasi, dan sekarang obat itu sudah bisa diakses dengan ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Itu pada tahun 2012," tambah perempuan yang mudah tersenyum ini.
Tapi kemudian, imbuhnya, teman-teman pengidap Hepatitis C di Indonesia menyadari bahwa obat itu memiliki efek samping yang tidak ringan.
Hampir mirip seperti orang yang melakukan pengobatan kemo terapi.
"Seperti orang kemo, obatnya disuntikkan kepada pengidap Hepatitis C, tetapi efek sampingnya justru kebanyakan membuat pasien sakit-sakit," ucapnya.
Perjuangannya masih berlanjut. Ayu dan sejumlah rekannya sebagai pengidap HIV sangat dekat dengan riset dan informasi dan perkembangan ilmu kesehatan terus memantau perkembangan obat-obatan di dunia.
Hingga satu waktu, Ayu dan teman-temannya memperoleh kabar, bahwa Amerika Serikat sudah berhasil membuat obat ampuh untuk penyakit hepatitis C, disebut Sovaldi.
Biaya mahal untuk bisa membeli obat ini menjadi persoalan besar bagi mereka, keluhnya.
"Obat itu, obat paten. Satunya hampir satu miliar harganya. Sangat mahal sekali," ujarnya.
Asa mereka pun tak patah. Ayu bersama teman-temannya terus proaktif mencari tahu perkembangan riset dan pengobatan Hepatitis C di dunia.
Perkembangan berikutnya, ada tiga negara yang berhasil bernegosiasi dengan perusahaan obat milik Amerika itu, yaitu India, Mesir dan Pakistan. Mereka berhasil membuat obat versi generik.
"Sehingga harganya sangat turun sekali, sekitar Rp 2juta untuk treatment 28 hari. Obat ini tidak disuntik, tapi di oral (diminum)," jelasnya.