TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung telah menyelesaikan proses penelusuran dan verifikasi aset Yayasan Supersemar.
Namun, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo belum memastikan hasil penelusuran tersebut dapat memenuhi jumlah denda sesuai putusan Mahkamah Agung (MAS) sebesar sekitar Rp 4,4 triliun.
"Dalam hal apakah ini memenuhi Rp 4,4 triliun tentu kita harus lakukan perhitungan lagi," kata Muhammad Prasetyo di Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (29/1/2016).
Meski demikian, aset yang telah ditelusuri oleh Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), dan Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) belum diserahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selaku juru eksekutor.
"Ketika diperlukan mereka kami berikan," kata Prasetyo.
Sebelumnya, PN Jakarta Selatan telah menggelar sidang teguran (aanmaning) untuk meminta Yayasan Supersemar membayar denda putusan MA secara suka rela.
Pada berjalannya penjadwalan sidang teguran yayasan yang didirikan mantan Presiden Soeharto berulang kali mangkir dan baru hadir melalui pengacaranya, Bambang Hartono pada 20 Januari silam.
Setelah wakil dari Yayasan Supersemar sebagai termohon hadir, maka pengadilan menghitung batas delapan hari untuk melaksanakan putusan MA selama delapan hari terhitung sejak 21 Januari.
Kasus Yayasan Supersemar bermula ketika pemerintah pada tahun 2007, menggugat Soeharto dan yayasan tersebut terkait dugaan penyelewengan dana beasiswa yang disalurkan.
Kejaksaan Agung pada gugatannya menyebutkan dana beasiswa yayasan itu yang seharusnya disalurkan ke penerima beasiswa tapi pada praktiknya disalurkan ke beberapa perusahaan seperti Bank Duta, Sempati Air, dan PT Kiani Lestari.
Pada Selasa (11/8/2015) Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Kejaksaan Agung dalam perkara ini dan mengharuskan Yayasan Supersemar membayar denda sebesar 315 juta dollar Amerika Serikat dan Rp 139,2 miliar atau total Rp 4,4 triliun.