Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Peneliti Mazhab Djaeng Indonesia (MDI), Riyanda Barmawi menilai tepat sikap DPR dan Pemerintah menyepakati RUU Pertembakauan.
RUU itu masuk Program Legislasi Nasional (RUU Prolegnas) tahun 2016.
"Diharapkan RUU tersebut mampu melindungi keberadaan petani tembakau dan industri hasil tembakau (IHT)," kata Riyanda kepada Tribun, Minggu (28/2/2016).
Selain itu kata dia, sektor tembakau merupakan salah satu sektor yang berkontribusi besar terhadap negara," jelasnya
Menurut peneliti MDI ini, sektor tembakau merupakan salah satu sektor yang berkontribusi besar terhadap negara.
Yakni, mulai dari penerimaan negara APBN tiap tahun lewat cukai hasil tembakau, penerimaan pajak, serapan tenaga kerja, dan sektor lainnya.
Adanya penolakan RUU Pertembakauan masuk Prolegnas oleh kelompok anti tembakau, Riyanda meminta agar jangan terlalu berburuk sangka dengan RUU itu.
Pasalnya, niat DPR dan Pemerintah untuk melindungi petani tembakau harus dilihat secara utuh.
Riyanda mengemukakan, alasan yang kerap dilontarkan kelompok anti tembakau adalah alasan kesehatan an sich.
Memang pada satu sisi, kata Riyanda, pertimbangan kesehatan yang seringkali dilontarkan oleh mereka yang anti terhadap rokok, tidak dapat disangkal.
Namun pada sisi lain, pertimbangan dari mereka yang memperjuangkan eksistensi rokok di Indonesia, juga tidak kalah rasionalnya.
Menurut Riyanda, selama ini rokok selalu dijadikan alasan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.
Pertanyaannya, dia bertanya, lantas bagaimana dengan jenis makanan yang biasa dikomsumsi sehari-hari?
Apakah obat-obatan yang kita konsumsi bebas dari bahan kimia? Apakah ada jaminan semua itu terbebas dari penyebab timbulnya suatu penyakit?
Menurutnya, keberadaan rokok di Indonesia tak ubahnya buah simalakama. Dimakan mati ayah, tidak dimakan mati ibu.
Riyanda tegaskan, selama ini IHT berkontribusi besar pada penerimaan negara.
Prosentase hasil pajak yang diterima negara dari IHT sebesar 52,7 persen atau kisaran Rp 131 Triliun.
"Jauh di atas yang diterima negara dari industri lain dan BUMN yang hanya senilai 8,5 persen meski dari sisi nilai industri mencapai Rp1,890 triliun," sebutnya.
Selain berkontribusi besar pada penerimaan negara, IHT juga berkontribusi besar pada penyerapan tenaga kerja.
Mengutip data Kementerian Perindustrian, bahwa sampai pada akhir tahun 2015, IHT telah melibatkan tenaga kerja sebanyak 6,1 juta orang.
"Tentunya, harapan petani tembakau ada di tangan DPR untuk membuat regulasi yang melindungi petani tembakau," tandasnya.