Pun usaha pemindangan, pengeringan ikan, pencari kerang, perdagangan ikan segar/kerang dan pembuatan petis adalah aktivitas yang dilakukan perempuan pesisir.
Bahkan katanya, perempuan juga bekerja di usaha kecil pembuatan kerupuk ikan yang menggunakan bahan baku ikan laut.
Pentingnya peran perempuan, juga mendorong FAO dalam 14th session of FAO Sub-Committee on Fish Trade meminta kepada negara-negara anggotanya untuk mengkaji peran perempuan nelayan di sektor perikanan, baik tangkap maupun budidaya.
Selain juga mendata jumlah dan sebaran perempuan nelayan dan merumuskan aturan khusus untuk mengakui dan melindungi perempuan nelayan.
“Tidak disebutkannya perempuan secara eksplisit dalam UU ini akan menjadikan perempuan terkecualikan dari berbagai strategi perlindungan dan pemberdayaan yang ditujukan bagi nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam," ujarnya.
"Pun peluang yang ada di Pasal 45 hanya akan menjadikan perempuan tergantung pada suami/ayah/saudara lelakinya saja” tambah Puspa Dewy.
Tak hanya itu, strategi perlindungan yang ada dalam UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam hanya menitikberatkan pada perlindungan terhadap kapasitas nelayan untuk berproduksi semata.
Menurutnya, Pemerintah dan DPR menutup mata atas ancaman nyata yang saat ini dihadapi nelayan untuk “dialih-profesikan” menjadi buruh, pemulung, dan lainnya maupun ancaman perampasan tempat tinggal dan wilayah kelola akibat tergusur oleh proyek yang mengatasnamakan pembangunan seperti reklamasi.
Dia tegaskan, Pengesahan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam telah melanggar CEDAW yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984.
“UU ini telah secara nyata mendiskriminasikan dan meminggirkan akses, kontrol dan hak perempuan nelayan/pesisir dalam mengelola dan memanfaatkan sumber kehidupannya," tandasnya.