TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) KH. Hasyim Muzadi menegaskan bahwa dirinya tidak ikut, apalagi menyetujui apa yang terjadi dan menjadi arah simposium korban 65 untuk mendesak Presiden Jokowi agar atas nama negara meminta maaf kepada korban 65.
”Desakan tersebut pasti membebani presiden baik secara politik, keamanan maupun ekonomi, bahkan bisa terjadi kegoncangan," kata Muzadi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (19/4/2016).
Muzadi menambahakah semenjak kampanye presiden pernah menyampaikan kepada Presiden Jokowi di kediamannya di Solo bahwa untuk membangun Indonesia baru bisa dirasakan kalau waktu menjabatnya 10 tahun.
"Oleh karenanya saya bersedia secara tulus mengantar umroh ke Mekah waktu minggu tenang agar hilang anggapan bahwa Pak Jokowi adalah kristen, atheis dan lainnya," kata Muzani.
Dia mengatakan tahu tuduhan itu tidak benar.
"Saat ini nama pemerintah mulai naik bahkan ekonomi sedikit membaik. Jadi sangat tidak layak untuk direcoki,” katanya.
Menurut Pengasuh Pesantren Al-Hikam ini kalau yang dimaksud adalah "negara" yang meminta maaf kepada korban 65, tentu salah alamat karena negara tidak pernah salah apa-apa.
"Yang bisa salah adalah rezim sebuah pemerintahan dalam masa pemerintahannya. Mengapa kejadian zaman pemerintahan Pak Harto harus Pak Jokowi yang meminta maaf?" kata Muzadi.
Hasyim menambahkan bahwa negara bersifat permanen sedangkan rezim bersifat temporer.
Dimana negara Indonesia sampai hari ini sudah berganti 7 rezim pemerintahan.
“Kalau dikembalikan ke zaman Pak Harto, sekarang ini sudah banyak yang wafat, juga demikian korban 65, lalu siapa meminta maaf siapa?” ujarnya.
Kata Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ini tuntutan permintaan maaf ini hanya dilakukan melalui pendekatan HAM saja, sedangkan korban 65 langsung atau tidak langsung berkaitan dengan peristiwa G30SPKI.
"Kenapa tidak dilakukan secara seimbang antara HAM dan pemberontakan? Kalau seimbang baru diketahui pelanggaran HAM sebagai ekses," kata Muzadi.
Lebih mendalam Muzadi menerangkan bahwa HAM yang masuk di Indonesia sekarang secara konstitusional berdasarkan UUD 45 (pasca amandemen) tercantum tidak boleh melanggar Pancasila, melanggar agama, serta etika lokal.
“Namun dalam pelaksanaannya masih berdasarkan tahun 48 yang lahir di negara Eropa Barat yang sekuler dan bebas nilai sehingga di Indonesia sering membentur tata nilai ke-Indonesia-an, karena HAM tersebut belum di pancasila-kan” ujar Hazim.
“Pada akhirnya, Komnas HAM kita masih kalah dengan LSM HAM yang dipandu dan dibiayai gerakan HAM internasional tersebut,” dia menam bahkan.
Dalam pandangan Muzadi, desakan ke presiden untuk negara minta maaf belum tentu menguntungkan kelompok Neo-Komunis, karena mayoritas bangsa terutama kaum muslimin dan umat beragama lain (kecuali agama yang suka kolaborasi dengan atheisme) akan berbalik mendesak posisi kaum neo-komunis dan pelbagai even demokrasi seperta Pilkada, Pilpres, Pileg, dan lain sebagainya.
“Padahal saat ini tokoh-tokoh Neo-Komunis telah bebas menjabat dimana-mana tanpa ada yang meneliti. Kalau terjadi konflik malah akan terjadi penelitian," ujarnya.
Hasyim mengaskan “Lalu siapa yang untung? Tentu gerakan global yang akan menambah perpecahan di Indonesia.”
Selain itu, Hasyim mengatakan sebagaimana pemberontakan PKI tahun 1948, PKI setelah itu dengan mulusnya mengikuti Pemilu 55, hal ini menunjukkan kemampuan luar biasa dalam membalikkan opini publik.
"Nanti kita lihat apakah dan bagaimana reaksi ormas-ormas termasuk ormas Islam? Karena ormas kecil hingga yang besar tentu telah kerasukan faham/tokoh Neokom sebagai bagian kondisioning," kata dia.