TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA —Terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar dinilai bakal membuat Golkar semakin terpuruk.
Pasalnya, Setya Novanto memiliki rekam jejak yang negatif.
Hal tersebut disampaikan Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz saat dihubungi Kompas.com, Selasa (17/5/2016).
"Terpilihnya itu menunjukkan Golkar tidak mau berbenah ke arah baik. Saya pikir bukan dia yang terpilih," kata Donal.
Menurut Donal, Setya Novanto memiliki rekam jejak negatif di mata publik.
Hal ini terbukti saat yang bersangkutan lengser karena terseret kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo terkait dugaan permintaan saham Freeport Indonesia.
"Jelas diputuskan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan DPR bahwa yang bersangkutan melakukan pelanggaran etik berat," ujarnya.
Dia menyayangkan, rekam jejak negatif itu sepertinya tidak menjadi patokan Golkar dalam memilih ketua umum. Moralitas dan integritas menjadi ketua diabaikan.
"Seharusnya, kasus yang pernah menimpa Setya Novanto dijadikan ukuran moralitas dan integritas dalam pemilihan ketua umum, tetapi diabaikan oleh kader-kader Golkar yang punya hak suara," ujar Donal.
Novanto meraih suara terbanyak pada voting tertutup yang digelar dalam Munaslub Partai Golkar sejak Selasa (17/5/2016) dini hari tadi.
Proses pemilihan berlangsung cukup alot setelah Novanto dan Ade Komarudin berhasil meraih 30 persen suara.
Pada putaran pertama, Novanto meraih 277 suara dan Ade Komarudin meraih 173 suara. (Baca: Ade Komarudin Mundur, Setya Novanto Ketua Umum Golkar 2014-2019)
Pemilihan seharusnya masuk ke tahap kedua dengan memilih Novanto atau Ade. Namun, pemilihan tahap kedua ini tidak berlanjut setelah Ade menyatakan mundur dari pemilihan dan mengalihkan dukungannya untuk Novanto.
Dengan keputusan itu, Novanto pun terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar hingga periode 2019.
Novanto sebelumnya tersangkut kasus "papa minta saham" dalam skandal permintaan saham PT Freeport Indonesia.
Dalam proses di Mahkamah Kehormatan Dewan, sebanyak sembilan anggota menyatakan Novanto terbukti melanggar kode etik kategori sedang dengan sanksi pencopotan dari Ketua DPR.
Adapun enam anggota MKD menyatakan Novanto melanggar kode etik kategori berat dan mengusulkan pembentukan panel. Namun, tak ada keputusan apa pun MKD terkait kasus tersebut.
Adapun terkait sangkaan pemufakatan jahat dalam kasus itu, Kejaksaan Agung memutuskan untuk mengendapkannya dengan alasan belum cukup bukti.
Novanto juga terseret beberapa kasus yang ditangani KPK seperti asus PON Riau, kasus Akil Mochtar, dan e-KTP.
Namun, hingga kini tidak ada bukti keterlibatan Novanto dalam semua kasus tersebut.