TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan terhadap seorang penegak hukum di institusi peradilan, Senin (23/5/2016).
Kali ini, KPK menangkap Ketua Pengadilan Negeri Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, berinisial JP.
Ketua KPK Agus Rahardjo membenarkan hal tersebut. Menurut Agus, JP ditangkap petugas KPK di Rumah Dinas Ketua PN Kepahiang.
"OTT sekitar pukul 15.30," ujar Agus melalui pesan singkat, Senin malam.
Namun, KPK belum merilis soal kasus yang menjerat hakim JP. Menurut rencana, keterangan lengkap soal kasusnya akan disampaikan pada hari ini, Selasa (24/5/2016).
Selain sebagai Ketua PN, JP juga merupakan hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Bengkulu.
Penangkapan ini sekaligus menambah daftar hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor yang justru terjerat kasus korupsi.
Hakim keenam yang ditangkap KPK
JP adalah hakim tipikor keenam yang ditangkap KPK.
Hakim tipikor yang pertama kali terjerat kasus korupsi adalah Kartini Julianna Mandalena Marpaung.
Hakim pada Pengadilan Tipikor Semarang tersebut ditangkap KPK pada Jumat (17/8/2012). Kartini ditangkap bersama Heru Subandono yang juga berprofesi sebagai hakim di Pengadilan Tipikor Pontianak.
Keduanya tertangkap tangan seusai melakukan transaksi suap di halaman PN Semarang.
Dari tangan Kartini, petugas KPK menemukan barang bukti berupa uang senilai Rp 150 juta yang diduga uang suap yang diterimanya.
KPK juga pernah menahan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Pragsono, yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap penanganan perkara korupsi di DPRD Grobogan, Jawa Tengah, pada Desember 2013.
KPK menetapkan Pragsono sebagai tersangka sekitar Juli 2013.
Dia ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan hakim ad hoc Tipikor Palu, Sulawesi Tengah, Asmadinata.
Berikutnya, yakni hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Ramlan Comel. Ramlan ditahan sebagai tersangka kasus dugaan suap penanganan perkara korupsi bantuan sosial di Pemerintah Kota Bandung.(Baca: Mantan Hakim Ramlan Comel Divonis 7 Tahun Penjara)
Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Dio Ashar mengatakan, penangkapan hakim ini menunjukan adanya praktik korupsi yudisial yang sistemik, masif dan mengakar di institusi peradilan.
Salah satu penyebabnya, menurut Dio, karena pengawasan yang lemah, sehingga semakin memperbesar potensi korupsi di institusi peradilan.
Menurut Dio, sebagai lembaga peradilan tertinggi, Mahakamah Agung perlu mengambil sikap tegas untuk mengawasi para hakim.
"Kami mendesak MA agar bekerja sama dengan KPK dan Komisi Yudisial dalam memetakan modus praktik suap di lembaga peradilan, kemudian menyusun langkah pencegahannya," kata Dio. (Abba Gabrillin)