TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengajukan pengaduan ke Komisi Kejaksaan terkait pelaksanaan eksekusi mati Seck Osmane dan Humprey Ejike Eleweke.
Pengaduan dilakukan Boyamin selaku kuasa hukum pemohon uji materi Undang-Undang Grasi di Mahkamah Konstitusi (MK), Suud Rusli.
Menurutnya, ada dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan eksekusi terpidana mati tahap III.
Pasalnya, Seck dan Humprey baru saja mengajukan permohonan grasi beberapa hari sebelum dihadapkan dengan juru tembak.
Boyamin menilai tindakan Kejaksaan dalam eksekusi kali ini mengabaikan putusan MK yang diajukan kliennya.
Padahal, Suud Rusli mengajukan peninjauan kembali UU Grasi yang telah dikabulkan, karena ingin meminta kembali keringanan hukuman dari presiden.
Selain itu, ada pernyataan dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Noor Rachmad bahwa putusan MK tidak berlaku surut.
"Kalau kata Jampidum tidak berlaku surut, bagaimana Suud Rusli," kata Boyamin di kantor Komisi Kejaksaan, Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (5/8/2016).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 yang diputus 15 Juni 2016, jelas Boyamin, menyatakan terpidana mati dapat mengajukan grasi tanpa dibatasi waktu dan eksekusi tidak boleh dilaksanakan jika belum ditolak presiden.
Sedangkan terpidana mati yang pernah tidak diterima grasinya karena masalah kelengkapan berkas atau sudah daluarsa masa pengajuannya sebelum putusan MK keluar, dianggap masih bisa mengajukan kembali.
"Karena itu, tindakan eksekusi Seck Osmane dan Humprey Ejike yang sedang mengajukan grasi bertentangan dengan ketentuan dan dapat dikatagorikan sebagai tindakan ilegal," katanya.
Pelaporan serupa juga sudah dia layangkan ke bagian pengawasan internal Kejaksaan Agung pada Jaksa Agung Muda Pengawasan.