News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Komisi III DPR Tanya Info Calon Hakim Tipikor Pernah Diperiksa Tiga Kali oleh KPK

Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi Dermawan S Djamian mengikuti seleksi di Komisi III DPR RI Jakarta.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR RI  mencecar calon hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Dermawan S Djamian saat mengikuti fit and proper test.

Dermawan ditanya mengenai Laporan Harta Kekayaan Penyelengara Negara (LHKPN) yang belum selesai.

Pertanyaan lainnya seputar dirinya yang pernah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Bapak belun melaporkan keseluruhan LHKPN bapak. Bapak belum membuat laporan LHKPN yang lengkap. Calon hakim tipikor masak enggak ada LHKPN?" tanya Anggota Komisi III DPR Erma Suryani Ranik di ruang rapat Komisi III DPR, Gedung DPR, Jakarta, Selasa (25/8/2016).

Dermawan juga diminta mengklarifikasi tiga kali pemanggilan KPK.

Pemanggilan itu terkait kasus biaya perkara dan klaim asuransi di MA.

Dermawan sempat menjabat sebagai Kepala Biro Keuangan MA.

Kemudian, bertugas sebagai hakim tipikor Semarang dan Banten.

Dermawan lalu mengaku pernah membuat LHKPN pada 2011.

"Pada waktu diangkat sebagai hakim ad hoc tipikor tingkat banding di Semarang. Waktu itu kami mengisi. Sudah kami laporkan ke KPK dan KPK sudah memberikan persetujuan dan supaya itu diumumkan. Kami sudah cantumkan di pengadilan di Semarang," kata Dermawan.

Ia pun berjanji akan melengkapi LHKPN pada Oktober nanti dengan kelengkapan aset yang dimilikinya.

Dermawan juga mengakui pernah dipanggil KPK pada 2007-2008.

Kasusnya dugaan penyimpangan perkara.

"Ada laporan penyimpangan biaya perkara. Namun kemudian mereka bisa memahami maksud dari biaya perkara itu," katanya.

Dermawan juga pernah diperiksa soal laporan BPK terkait klaim asuransi pimpinan MA sebesar Rp 970juta pada 2004.

Ia menjelaskan sistem yang digunakan sistem Daftar Isian Proyek (DIP) belum Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).

"Menurut BPK, itu salah, harus dirinci. Setelah kami lengkapi. Maka temuan BPK itu tidak menjadi temuan akhir," imbuhnya.

BPK, kata Dermawan, juga menyuruh agar premi asuransi dibayarkan langsung ke perusahaan.

Tidak boleh melalui hakim agung. Akhirnya kasus itu selesai.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini