TRIBUNNEWS.COM - 10 Desember diperingati sebagai Hari HAM Internasional dan Komnas Perempuan hendak memorialisasi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Di Semarang, Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pemuda Klas 2B di Plantungan, jadi saksi sejaran pemenjaraan ratusan perempuan yang disangka terlibat G30S.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi KBR.
“Nama saya Sumilah, dari Prambanan Sleman, tanggal 19 Nopember 1965, saya ditangkap dan diperiksa. Yang meriksa banyak sekali di ruangan, tapi saya diperiksa satu orang. Kamu itu ikut Gerwani ya? Saya disuruh ngaku ikut Gerwani, saya tidak mau. Terus saya ditampar berkali-kali, saya terjatuh, tahu-tahu saya gini (tempel telapak tangan ke bibir), saya bangun, ternyata ada darahnya. Saya terus izin ke kamar mandi, saya membasuh luka karena tamparan itu dengan sapu tangan bapak saya. Saya cuci sapu tangan dan bersihkan luka saya.”
“Habis itu saya diinterogasi lagi dituduh ikut Gerwani, saya ditelanjangi. Buka baju, saya berontak tidak mau. Saya dipaksa terus telanjang, saya disuruh rentangkan tangan. Katanya ada cap pengikut Gerwani di tubuh saya. Saya bilang cap apa? Saya tidak ada cap itu. Saya ditampar lagi. Mau ambil baju saya, nggak boleh. Saya disuruh telanjang dari pagi sampai sore. Setelah itu saya boleh pakai baju lagi dan dibawa ke Wirogunan. Enam bulan di sana. Terus dibawa ke penjara Bulu Semarang. Terus sampai tahun 71, saya dibawa ke Plantungan.”
Tangis Sumilah, bekas tahanan politik peristiwa 1965 pecah, begitu mendengar kata; Plantungan.
Jari-jarinya tak henti mengusap air mata, sembari menceritakan masa mudanya yang kelam.
Pasalnya, di usia yang masih bocah, ia dituduh sebagai anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), lembaga yang berafiliasi dengan PKI. Hingga kemudian, dipenjara di Plantungan, Kendal.
Debora Oni, juga tak bisa menahan isak. Kala umurnya masih belasan, ia ditangkap dan ditanyai tentang lubang buaya.
Karena menjawab tak tahu, perempuan sepuh ini harus menerima siksaan bertubi. Bahkan, 14 tahun hidupnya, terbuang di empat penjara yang berbeda.
“Nama saya Bu Oni, pada waktu tahun 1965, saya baru lulus SMP. Saya ditangkap dan diperiksa, saya tidak tahu betul ada apa waktu itu. Saya diinterogasi, tahu lubang buaya? Saya jawab, saya tidak tahu. Saya balik tanya Lubang Buaya itu apa, saya malah disiksa. Sampai malam. Saya cuma jawab saya tidak tahu.”
“Yang nanya saya, mungkin saking jengkelnya dengan jawaban saya, dia ambil tongkat dan memukuli saya. Saya coba menghindar. (menangis). Saya masih dicecar terus, saya ditahan di Wirogunan satu minggu, kemudian dipindah lagi ke Ambarawa dua setengah tahun, dipindah lagi ke Bulu Semarang dua tahun lebih, dan terakhir pindah tahun 1971 ke Plantungan. Kalau ditotal semuanya sekitar 14 tahun saya ditahan di berbagai tempat.”
Sumilah dan Oni, hanya segelintir perempuan yang pernah menjadi tahanan politik karena disangka terlibat dalam peristiwa September 1965.
Gerwani, kala itu, disebut menyiksa, menyileti tubuh para jenderal Angkaran Darat sebelum akhirnya dihabisi. Rekaan tersebut, bahkan diabadikan dalam film yang wajib tayang oleh Orde Baru.
Padahal, Gerwani menjadi satu-satunya organisasi perempuan yang mengkampanyekan anti-poligami, kesetaraan hak perempuan dan laki-laki, mendirikan ratusan TK Melati, serta menggelar kursus-kursus demi memberantas buta huruf untuk anak dan perempuan.
Tapi, oleh Orde Baru, gambaran tentang Gerwani dijungkirbalikkan menjadi perempuan tak bermoral dan sadis.
Dan, meski sudah 51 tahun berlalu, korban 1965 seperti Sumilah dan Oni belum mendapat rehabilitasi; baik nama maupun status. Sebab selama mendekam di Plantungan, tak ada putusan pengadilan yang menyebut mereka bersalah.
Kamp Plantungan berada di perbatasan Kabupaten Batang dan Kendal, Jawa Tengah. Jalan menanjak, berkelok, dan dikeliling jurang dan melewati hutan, mesti dilewati.
Kamp ini dulunya Rumah Sakit untuk penderita kusta. Tapi kini, disulap menjadi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pemuda 2B. Tembok tinggi berkawat mengeliling LP.
Di sini pula, terdapat seorang warga setempat yang tengah mencari rumput. Mbah Tunjung, namanya.
Laki-laki berusia 70 tahun tersebut, menjadi saksi hidup para tapol perempuan.
“Dulu ini Rumah Sakit Kusta, Lepra. Terus sempat berhenti, kosong, 2 tahun, kemudian bangunan ini dipakai ibu-ibu. Itu lho yang kena 65. Ditampung di sini. 1965 kan banyak yang kesangkut G30S PKI. Istri yang suaminya kena G30S PKI itu ditampung di sini.”
“Tahun 1962 kan saya sudah rampung SR, sekolah rakyat. Ibu-ibu itu entah darimana saya tidak tahu. Ibu-ibu itu ditahan di sini buat rumah sakit. Saya nggak berani deket ke lokasi itu, yang jaga kan banyak tentara. Kalau ada orang kan juga gak bisa ketemu. Ibu-ibu itu kesangkut G30S PKI. Kan gawat. Dekat nggak bisa. Tentara itu keliling terus di lokasi ini, banyak, ada sekitar 25 orang tentara setiap patroli.”
Jumlah tapol perempuan di Plantungan berdasarkan catatan pemerintah sekitar 500 orang. Di sini pula, ratusan tapol dibagi menjadi lima unit; pertanian sub perikanan, peternakan, penjahitan, kerajinan dan pembatikan, serta pertamanan.
Sementara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, para tapol membuat kerajinan tangan seperti sulaman taplak meja, sprei, hiasan dinding untuk dijual ke warung yang dibuat penjaga kamp.
Uang hasil menjual itu, bakal dibelikan gula, telor, terigu. Atau para tapol menerima kiriman dari keluarga.
Sumilah, yang masuk unit pertanian, bercerita tentang keseharian di Plantungan.
“Kalau pas di Plantungan, diceritakan akan banyak sekali. Saya di Plantungan masuk kelompok 7, unit pertanian. Saya macul (mencangkul-red), yang lainnya saya tidak bisa, saya hanya bisa tani. Kalau saya menanam sayuran, khususnya Jepan (labu siam-red). Pas panen saya bisa sampai 1 kuintal. Kelompok 7 itu dikepalai Bu Kartini dari Rembang.”
“Saya juga dipekerjakan di mess, tukang bersih-bersih. Petugas selalu bilang kalau saya besok dibebaskan, tapi saya tunggu bertahun-tahun tak kunjung nyata. Saya hanya bisa mencibir kalau petugas bilang saya bebas besok. Saya terus dibohongi. Kemudian baru tanggal 27 April 1979 saya bebas. Kalau saya ceritakan lagi, saya bisa nangis, teringat terus.“
Sementara Oni, yang sempat pindah-pindah unit, merasa tersiksa.
“Saya di Plantungan itu pertama di unit ternak. Saya angon wedhus (menggembala kambing –red). Cukup lama. Kemudian saya dipindah ke unit kesehatan, di poliklinik. Kegiatannya mengantar pasien, kadang-kadang ada ibu-ibu mau babaran (melahirkan-red) di dusun, desa sekitar sini padahal naik turun jalannya.”
“Saya ikut perawat dan dokter. Kalau ada pasien sakit parah di bawa ke sini, ya saya ikut bantu perawat. Pagi siang malam saya tugas. Kalau penyiksaan fisik, di sini tidak ada, hanya seringkali petugas mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati, kita seperti hewan diperas tenaganya. Kalau nggak salah, dibilang salah. Apalagi kalau petugasnya nggak senang, cari mati.”
Petugas LP Pemuda 2B, Juned mengatakan, bekas kamp penahanan ini kini menjadi aset Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
“Ya memang ini LP dulunya adalah kamp tahanan politik saat tragedi 1965. Bangunan aslinya masih ada dua, ditengah ini. Bentuknya seperti barak. Sebelumnya kan bangunan ini juga bekas rumah sakit Lepra, Kusta," ungkap Juned.
Bersama petugas LP, Sumilah, Oni dan tim dari Komnas Perempuan, kami lalu menyusuri tempat ini. Ada dua bangunan yang dulu dipakai sebagai barak bagi ratusan tapol.
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amirudin mengaku agak kesulitan untuk membangun prasasti sejarah pemenjaraan tapol di komplek LP.
“Bangunan sejarah ini bisa sih, tapi sangat terbatas diakses publik karena lokasi berada di dalam kompleks LP,” ungkap Mariana.
Tapi, bagi Sumarmiyati, bekas tapol, sangat mengharap ada prasasti di sini. Sebagai pembuktian bahwa terjadi pemenjaraan, penyiksaan, dan perbudakan di Kamp Plantungan oleh penguasa Orde Baru.
“Ungkap semua, bongkar semua. Biar semua masyarakat tahu sejelas-jelasnya, jangan ada yang ditutupi atau dihilangkan sejarahnya. Saya selalu teringat tragedi itu sebagai pengalaman hidup yang tak tergantikan.Anak-anak sekarang jangan diberikan kebohongan, buka, buka sejelas-jelasnya. Hanya karena berlawanan pandangan politik, ditangkap, disiksa, dibunuh, dihilangkan, tidak pulang, siapa yang tidak sakit hati, istrinya, anaknya. Mertua saya dipenjara dan hilang di Nusa Kambangan, suami saya ditahan di Beteng dan Wirogunan. Keluarga saya tercabik-cabik.”
Penulis: Yudha Satriawan/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)