TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kadiv Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar menyatakan mantan Ketua KPK selaku terpidana yang mengajukan dan memperoleh grasi secara tidak langsung mengakui perbuatan pidana yang dituduhkan.
Menurut Antasari, penafsiran tersebut keliru.
"Kita lihat ke belakang, ketika Presiden Jokowi kasih grasi kepada OPM. Jokowi datang sendiri ke Papua menyerahkan Keppres-nya kan. Nah itu yang benar. Jadi kalau orang bilang (pemberian grasi presiden) itu salah dan minta ampun, itu adalah persepsi keliru, itu awam. Enggak bisa jadi acuan nasional. Jangan rakyat dibodohi," kata Antasari Azhar saat dihubungi, Kamis (16/2/2017).
Baca: Mabes Polri: Antasari Memohon Grasi, Artinya Mengakui Perbuatan
Baca: Ini Kata Jokowi Dituding SBY Soal Grasi Antasari Bermotif Politis
Antasari menjelaskan, bahwa UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, mengatur tentang syarat, ketentuan serta ikhwal di balik pengajuan grasi dari terpidana dan kewenangan pemberian grasi oleh presiden.
Dan salah satu pertimbangan dalam undang-undang ini bahwa grasi dapat diberikan oleh Presiden untuk mendapatkan pengampunan dan/atau untuk menegakkan keadilan hakiki dan penegakan HAM terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Undang-undang tersebut juga diatur bahwa, presiden memberikan grasi setelah mempelajari berkas perkara dan meminta pertimbangan Mahkamah Agung (MA).
Dan dari sejumlah pasal yang termuat di Undang-undang Grasi tersebut tidak ada yang mengatur bahwa terpidana yang mengajukan grasi diartikan dia telah mengakui perbuatan pidana yang dituduhkan.
"Di pasal berapa, ayat berapa yang mengatakan orang minta grasi ngaku bersalah dan minta ampun? Nah di Undang-undang Grasi itu menjadi hak konstitusional presiden, dalam rangka memberi pengampunan kepada seseorang, ketika presiden sebagai kepala negara melihat ketidakadilan," jelasnya.