TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR RI Berencana mengajukan hak angket terhadap KPK. Hak angket itu dimaksudkan agarĀ KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap mantan anggota Komisi II, Miryam S Haryani.
Miryam saat diperiksa sebagai saksi dalam kasus e-KTP.
Menurut Indonesian Coruption Watch (ICW), langkah tersebut merupakan bentuk intervensi hukum terhadap KPK. Terkesan wakil rakyat hendak melemahkan KPK juga penegakan hukum yang tengah dilakukan.
Menurut catatan ICW, bukan kali ini saja DPR hendak melemahkan KPK. Berikut catatan yang dimiliki ICW.
Mendorong Wacana pembubaran KPK
Sejumlah anggota DPR pernah mewacanakan atau memberikan pernyataan tentang pembubaran KPK. Salah satunya yang dinilai paling bersemangat adalah Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
Mendorong Wacana KPK sebagai lembaga Adhoc
Tahun 2011, Ketua DPR RI Marzuki Alie pernah menyebutkan KPK sebagai lembaga ad hoc (bersifat sementara). Wacana KPK sebagai lembaga ad hoc juga muncul dalam Revisi UU KPK tahun 2016 yang menyebutkan usia KPK hanya sampai 12 tahun mendatang.
Penolakan Anggaran yang diusulkan KPK
DPR pernah menolak sejumlah usulan anggaran yang diajukan oleh KPK Padahal anggaran yang diusulkan dimaksudkan untuk optimalisasi upaya pemberantasan korupsi.
Tahun 2008, DPR menolak anggaran sebesar Rp 90 Miliar untuk pembangunan rumah tahanan yang dikelola sendiri oleh KPK.
Tahun 2012, usulan dana sebesar Rp 250 miliar untuk pembangunan gedung baru KPK juga ditolak. Akibat penolakan ini muncul gerakan publik, koin untuk KPK atau saweran untuk gedung KPK.
Berupaya melemahkan KPK melalui Proses Legislasi (Revisi UU KPK, RUU KUHAP, RUU KUHP)
Sejak 2011 sejumlah Partai Politik di DPR berulang kali berupaya melakukan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (Revisi UU KPK).