TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, hak angket yang diajukan DPR RI tak akan mengubah sikap Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ia mengatakan, DPR tidak bisa mengintervensi KPK untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II DPR RI, Miryam S Haryani, kepada publik.
"Presiden sekalipun sebagai kepala eksekutif tidak bisa mengintervensi KPK, apalagi DPR," ujar Fickar melalui siaran pers, Jumat (28/4/2017).
Fickar menganggap keputusan persetujuan hak angket terlalu terburu-buru tanpa mempertimbangkan hal-hal yang diatur dalam undang-undang.
Meski hak angket merupakan hak konstitusional DPR, tetapi juga fungsi pengawasan kekuasaan legislatif terhadap eksekutif.
Sementara, KPK merupakan lembaga penegak hukum yang independen. Siapapun, kata dia, tidak bisa mencampuri wilayah hukum lembaga penegak hukum manapun.
"Dalam konteks fungsinya sebagai penegak hukum, KPK termasuk kekuasaan kehakiman yang harus bebas dari segala intervensi kekuasaan lain, yaitu eksekutif dan legislatif," kata Fickar.
Fickar mengatakan, jika DPR RI memaksakan hak angket, menandakan adanya pemaksaan kekuasaan politik terhadap kekuasaan juridis.
Intervensi seperti itu harus ditolak.
Ia menganggap hal ini dapat meruntuhkan martabat Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum.
"Tindakan ini bukan saja pelemahan kepada KPK tapi juga pada kekuasaan kehakiman secara keseluruhan," kata Fickar.
Penanganan kasus e-KTP, kata Fickar, harus tetap bergulir dan dikembangkan meski KPK terus "digoyang".
Ia menganggap munculnya hak angket ini menandakan kekhawatiran anggota DPR atas kasus tersebut.
Mengenai perbedaan sikap atas hak angket, menurut Fickar, hanya pada kepentingan pragmatis yang menguntungkan partainya atau tidak.