TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hari Raya Idul Fitri 1438 Hijriah telah berlalu sejak dua hari lalu.
Namun, suasana dan euforia Lebaran masih terasa.
Wajar saja, di Indonesia, ada beberapa tradisi yang biasa dilakukan ketika hari raya tiba.
Silahturahmi, bermaaf-maafan, hingga sungkem adalah beberapa cara umat Muslim di Indonesia merayakan Lebaran.
(Ketua GNPF MUI Temui Presiden, Suasana Lebaran Cocok Nih Presiden Membuka Hati)
Masih hangat dengan suasana Lebaran, biasanya ada satu tradisi lagi yang hampir tak pernah terlewati, yaitu halal bi halal.
Lantas apa itu halal bi halal?
Dalam sebuah kesempatan, Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto pernah menceritakan sekilas mengenai asal mula istilah halal bi halal.
(Ulama AS Kecam Keras Keputusan Trump yang Tiadakan Tradisi Makan Malam Jelang Lebaran)
"Istilah halal bihalal atas permintaan Bung Karno kepada KH Abdul Wahab Hasbullah. Ini perspektif sejarah yang harus kita ketahui."
"Pada masa itu, para elite gak mau bersatu saling bertengkar dan menyalahkan," papar Hasto Kristiyanto saat acara Halal Bihalal DPD PDI Perjuangan Jawa Timur di Kota Batu, Jawa Timur, seperti dikutip dari Tribunnews.com, 24 Juli 2016 silam.
KH Abdul Wahab Hasbullah dikenal sebagai ulama terkemuka di awal kemerdekaan RI yang juga seorang tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) bersama Hadratus Syeikh K.H Hasyim Asy'ari.
(Populer: Gus Mus: Kalau Tidak Moderat Bukan Islam!)
Abdul Wahab Hasbullah diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 November 2014
Melansir dari laman wesite Nu online, halal bi halal memang dicetuskan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah.
Dikisahkan, setelah berhasil merebut kemerdekaan, Indonesia dilanda gejala disintegrasi pada tahun 1948.
Kala itu, para elite politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum.
Padahal Indonesia tengah panas oleh peristiwa pemberontakan yang terjadi dimana-mana.
Saat pertengahan bulan Ramadhan di tahun yang sama, Presiden peratama RI, Bung Karno meminta pendapat dan KH Wahab Chasbullah untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat.
Kiai Wahab kemudian memberi saran kepada Bung Karno untuk mengadakan silaturahim, sebab Hari Raya Idul Fitri akan tiba dan seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi.
Mendengar saran itu, Bung Karno tak lantas meyakininya.
Ia sempat mengatakan, silaturahmi merupakan istilah biasa di negara ini.
"Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain," kata Bung Karno seperti dikutip dari NU online.
Kiai Wahab kemudian menjelaskan tujuannya menyelengarakan silaturahmi.
"Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan."
"Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan."
"Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah 'halal bi halal", jelas Kiai Wahab kepada Bung Karno.
Beranjak dari pemikiran itu, Bung Karno kemudian mengajak seluruh instansi pemerintah untuk menghadiri acara halal bi halal sesuai saran Kiai Wahab.
Acara itu sejatinya tak hanya dihadiri oleh kalangan elite pemerintahan, melainkan masyarakat umum juga ikut dilibatkan.
Jadi, Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kiai Wahab menggerakkan warga dari bawah.
Sejak itulah hala bi halal menjadi kegiatan rutin dan membudaya di Indonesia terutama saat Hari Raya Idul Fitri. (TribunWow.com/Maya Nirmala Tyas Lalita)