TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - CEO MNC Group sekaligus Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo, mempraperadilankan Polri atas penetapan dirinya sebagai tersangka kasus ancaman melalui SMS kepada jaksa Yulianto.
Hary Tanoe selaku pemohon melalui kuasa hukumnya menyatakan penetapan tersangka dari pihak Polri kepada dirinya adalah tidak sah.
Sebab, penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri selaku yang menangani kasus tidak sesuai dengan KUHAP dalam mekanisme penyidikan perkara.
Demikian disampaikan ketua tim kuasa hukum Hary Tanoesoedibjo, Munatshir Mustaman, seusai sidang perdana praperadilan Hary Tanoe terhadap Bareskrim Polri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta, Senin (10/7/2017).
Munatshir menjelaskan, Pasal 109 KUHAP sebagaimana putusan uji materi Mahkamah Konstitusi (MK) pada 11 Januari 2017 mengatur, penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan Surat Pemberiahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada jaksa penuntun umum, pelapor/korban dan terlapor, dalam waktu paling lambat 7 hari, setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik).
Sementara, penyidikan kasus Hary Tanoe oleh Dittipidsiber Bareskrim Polri sebagaimana Sprindik telah dimulai sejak 4 Mei 2017. Namun, SPDP kasus tersebut baru disampaikan kepada Hary Tanoe selaku terlapor pada 20 Juni 2017 atau selang 47 hari setelah Sprindik dikeluarkan.
"Jadi, ada selang waktu 47 hari. Ini jauh sekali dari peraturan yang telah ditetapkan. Padahal, Pasal 109 KUHAP ini itu sudah diuji materi oleh MK, di situ disebutkan bahwa namanya SPDP itu harus diberitahukan kepada semua pihak paling lama 7 hari setelah terbitnya surat perintah penyidikan ini," kata Munatshir.
"Kami tidak tahu kenapa lama sekali disampaikan kepada pemohon," katanya.
Karena proses penyidikan tidak sesuai prosedur sebagaimana KUHAP, maka penetapan tersangka kepada Hary Tanoe adalah tidak sah. Karenanya mereka meminta hakim praperadilan untuk menyatakan penetapan tersangka kepada Hary Tanoe adalah tidak sah.