Navhat merujuk pada pola penggunaan Telegram oleh buruh migran Indonesia di Hong Kong. Ada lebih dari 155 ribu buruh migran yang saat ini bekerja di Hong Kong dan ada sekitar 100 yang teridentifikasi memiliki paham radikal.
Mulanya, buruh-buruh migran tersebut bergabung dengan pengajian offline yang sesungguhnya damai.
Kadang mereka tidak puas dengan pengajian atau ustad yang dianggap tidak murni dan lembek, lantaran tidak mendukung muslim di Suriah, Palestina atau tempat yang lain.
Lewat media sosial mereka menebar konten radikal, kemudian membuat jaringan sosial untuk pertemanan.
''Mereka juga terlibat online date dengan pejihad Indonesia dan pejihad lainnya di Suriah, kemudian menikahi mereka lewat video call. Beberapa ke Suriah untuk menemui suami online mereka,'' kata Navhat.
'Bahrun Naim aktif di grup Warung Kopi'
Menurut analisis Navhat, Telegram berubah menjadi platform 'menakutkan' juga akibat perencanaan teror yang dilakukan Bahrun Naim dengan menggunakan Telegram.
Kasus rekrutmen top-down paling jelas, dimana pimpinan teroris merekrut langsung anggota baru, adalah kasus Bahrun Naim.
Kelompok teroris Bahrun Naim melakukan rekrutmen lewat kanal Telegram yang punya anggota banyak, namanya Warung Kopi.
Saat ini ada banyak grup Warung Kopi yang aktif di Telegram, tetapi Bahrun Naim diketahui aktif di grup pertama.
Pada pertengahan 2015, Bahrun Naim diketahui merekrut kenalan lamanya seorang remaja dari Solo yang juga admin grup Telegram Jaisyu Daulah Khilafah (JDK).
''Pada saat itu Telegram belum punya layanan supergroup. JDK tergolong grup kecil yang tetapi punya anggota yang aktif dan berkomitmen tinggi. Mereka membuat grup-grup kecil dan salah satu orang yang ia rekrut lewat grup eksklusif ini juga ditangkap tahun 2016.''
''Untuk grup eksklusif yang lebih kecil ini mereka perlu tahu latar belakang orang yang bergabung secara offline atau ada rekomendasi orang yang mereka percayai. Sebab tujuannya adalah merencanakan teror,'' kata dia.