Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Demokrat melihat pernyataan Presiden Joko Widodo terkait penetapan presidential threshold dalam UU Penyelenggaraan Pemilu, menggelikan.
Sekretaris Fraksi Demokrat Didik Mukriyanto mengungkapkan menyederhanakan persoalan yang berbeda normanya dengan logika dan nalar yang sangat subyektif dan tidak rasional.
"Penetapan presidential threshold dalam Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 sangat berbeda standing norma, logika dan implikasi struktur politik yang melandasinya," kata Didik melalui pesan singkat, Minggu (30/7/2017).
"Akal dan nalar sehat, sangat jelas dapat menjelaskan, bagaimana menetapkan presidential threshold di kala Pileg dan Pilpres dilakukan serentak," tambahnya.
Didik mengatakan hasil Pileg 2014 sudah kehilangan legitimasinya dijadikan dasar penetapan Presidential Threshold pada Pilpres 2019.
Selain sudah dijadikan dasar pada Pilpres 2014, sudah barang tentu bisa menistakan siklus kepemimpinan nasional.
Dengan melandaskan Pilpres 2019 kepada hasil Pileg 2014, kata Didik, memberikan makna bahwa siklus kepemimpinan nasional yang selama ini dalam ketatanegaraan dan konstitusi selama 5 tahun, akan bisa begeser kepada siklus 10 tahun.
"Tentu kalau ini yang terjadi maka akan melanggar konstitusi kita," kata anggota Komisi III DPR itu.
Ia mengakui pernyataan Presiden Jokowi bahwa UU adalah produk DPR. Tetapi, Didik menilai Jolowi lupa bahwa sesuai dengan konstitusi kewenangan membuat UU dilakukan oleh DPR bersama-sama Pemerintah.
"Belum lagi publik harus mengetahui bahwa RUU Penyelenggaraan Pemilu adalah inisiatif Pemerintah. Dan dalam pembahasan pemerintah lah yang sejak awal kekeuh menginginkan presidential threshold 20/25 persen," kata Didik.
"Atas dasar itulah, pasca penetapan presidential rhreshold 20/25 persen menjadi keharusan bagi kami untuk menegakkan mandatory konstitusi tersebut," tutur Didik.
Didik mengatakan pihaknya sebagai bagian check and balances pelaksanaan dan kinerja pemerintah dalam konteks pengelolaan negara yang berbasis good and clean governance agar tetap berjalan pada track yang benar serta tidak melanggar konstitusi.
"Sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara tidak perlu kebakaran jenggot dengan subyektifitasnya, sebagai Presiden, sudah seharusnya Jokowi bisa memberikan pembelajaran dan legacy yang baik, cerdas dan punya nilai edukatif apabila ingin menjadi negarawan," kata Didik.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menanggapi pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang mengatakan bahwa presidential threshold 20 persen adalah lelucon politik.
Jokowi mengaku heran mengapa baru sekarang keberatan akan presidential threshold atau ambang batas presiden sebesar 20 persen, ramai.
"Iya kan ini mempertanyakan presidential threshold 20 persen, kenapa dulu tidak ramai?" ujar Jokowi di PT Astra Otoparts Tbk, di kawasan Greenland International Industrial Center (GIIC), Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (28/7/2017).
Jokowi mengatakan, sudah dua kali penyelenggaraan pemilihan presiden tahun 2009 dan tahun 2014 dengan ambang batas sebesar 20 persen, namun tidak ramai dikeluhkan.
"Kita sudah mengalami dua kali presidential threshold 20 persen, 2009 dan 2014, kenapa dulu tidak ramai?" kata Jokowi.
Jokowi menegaskan, penyederhanaan sistem pemilu sangat penting dalam rangka visi politik Indonesia ke depannya.