"Beberapa masjid murni digunakan untuk menyebarkan ideologi. Yang lain digunakan sebagai tempat untuk konsolidasi, dan bahkan pengurus masjid (marbot) akan bertindak sebagai agen perjalanan bagi mereka yang ingin ke Suriah."
Selama beberapa bulan, Bhakti dan timnya mendatangi masjid dan pengajian, dengan berpura-pura menjadi jamaah, dan mencatat kotbah dan diskusi yang sedang berlangsung.
"Kami adalah anggota kelompok pengajian. Kami ikut kegiatan mereka. Kami mewawancarai jamaah yang hadir, jadi kami mengumpulkan informasi dengan berbagai cara," katanya.
"Kami mengamati langsung, atau lewat sumber-sumber, dan juga dari wawancara yang kami lakukan."
Bhakti mengatakan kadang mereka berhasil merekam isi pembicaraan dari berbagai pertemuan tersebut, namun mereka tidak bisa memberikannya kepada ABC karena rekaman itu milik pemerintah Indonesia.
Bulan Februari tahun lalu, ABC secara ekslusif merekam gambar di masjid As-Syuhada di Jakarta dimana usaha untuk mengumpulkan pejuang ISIS sedang dilakukan.
Menurut Bhakti, hal seperti itu hampir tidak mungkin dilakukan lagi sekarang, karena kelompok-kelompok ini melakukan pertemuan lebih berhati-hati, dan kadang dilakukan di rumah pribadi.
Dalam penelitiannya, Bhakti memberikan tiga kategori masjid dalam hal ini.
1. Masjid umum yang digunakan pendukung ISIS tanpa sepengatahuan marbotnya.
2. Masjid dimana marbotnya memiliki hubungan dengan kelompok yang mendukung ISIS namun jamaahnya tidak
3. Masjid pribadi dimana marbot dan jamaahnya mendukung kelompok ISIS
"Bagi kelompok radikal, pertemuan langsung merupakan hal yang penting, karena mereka baru bisa membangun saling percaya setelah bertemu muka langsung," kata Bhakti.
"Mereka tidak melakukannya online, karena online bisa jadi siapa saja."