Sekolah-sekolah yang siswanya cenderung radikal, ternyata diasuh oleh pihak luar dalam kegiatan keagamaan di luar jam sekolah. Misalnya oleh kelompok mahasiswa maupun organisasi kemasyarakatan tertentu.
“Jadi, jaringan mentoring Rohis yang kami temukan itu ada beberapa pola. Yang pertama adalah pola guru, dimana Rohis itu mentornya para guru siswa sendiri. Kemudian yang kedua pola mahasiswa, dan ketiga adalah pola umum yaitu dari organisasi semacam LSM. Kalau dari guru internal, tidak ditemukan masalah terkait radikalisme. Tetapi kalau yang dari jaringan alumni atau LSM itu ada potensi untuk mengajarkan paham-paham yang tidak mainstream,” kata Aji Sofanudin.
Penelitian ini, tambah Aji, tidak menanyakan lebih lanjut alasan para siswa mengapa menyebut nama seseorang sebagai idolanya.
Namun dari nama-nama yang paling sering disebut, dapat disimpulkan mengenai posisi tokoh-tokoh itu dan di mata para siswa. Aji menyebut, masuknya paham radikal melalui organisasi di luar sekolah ini memang melalui proses yang relatif halus.
“Organisasi ini membuat proposal untuk berbagai kegiatan, misalnya kajian, pelatihan, ada juga outbound. Kemudian ada juga yang saya temukan, dimana justru Rohis yang membuat kegiatan baru, kemudian organisasi ini masuk mengisi kegiatan itu. Lalu, karena dianggap baik-baik saja, sekolah membiarkan itu berlangsung,” ujar Aji.
Dihubungi terpisah, Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah, Najahan Musyafak kepada VOA menilai, munculnya nama-nama yang disebut siswa dalam penelitian itu tidak terlepas dari pemberitaan media.
Akhir tahun lalu, nama-nama seperti Habib Rizieq maupun Bachtiar Nasir sangat sering muncul dalam pemberitaan. Tingkat popularitas yang tinggi itulah, yang mempengaruhi persepsi siswa.
Selama ini, FKPT Jawa Tengah memang menjadikan anak muda sebagai salah satu fokus sasaran kegiatan. Penyuluhan dan diskusi digelar di berbagai sekolah dan perguruan tinggi sepanjang tahun. Melihat data para pelaku teror selama ini di Indonesia, Najahan yakin proses rekrutmen itu dilakukan ketika mereka masih duduk di bangku sekolah.
“Pelaku bom bunuh diri dan mereka yang termasuk dalam kelompok radikal itu, umurnya rata-rata antara 18-25 tahun. Kalau tindakan jihadnya itu dilakukan di umur itu, maka perekrutannya pada umur antara 16-17, sehingga anak muda ini menjadi prioritas dalam pencegahan dan pencegahan paham radikal di Indonesia. Fakta lain juga menunjukkan, bahwa di perguruan tinggi bersemai organisasi radikal semacam ini,” kata Najahan.
Najahan menilai, perlu ada perubahan paradigma melawan gerakan radikal karena perubahan yang terjadi dalam gerakan itu sendiri. Meski kuat Jawa Tengah dikenal sebagai masyarakat muslim tradisional yang toleran, kini ada pergeseran pola pembelajaran paham agama pada anak muda melalui teknologi. Organisasi gerakan radikal juga telah mau tampil secara terbuka.
“Dulu, organisasi berpaham radikal itu sembunyi-sembunyi. Sekarang mereka justru mendirikan organisasi terbuka yang legal. Mereka membuat yayasan, menyelenggarakan majelis taklim. Ini yang menurut saya harus diwaspadai. Masyarakat juga harus dijelaskan, karena sebagian besar tidak memahami pergeseran pola semacam ini,” tambah Najahan.
Balai Litbang Agama Makassar, Sulawesi Selatan tahun 2016 pernah melakukan penelitian serupa yang menunjukkan bahwa 10 persen dari 1.100 siswa SMA/SMK yang menjadi responden memiliki potensi radikal. Penelitian Wahid Foundation dan LSI pada 2016 juga memuat data, dari 1.520 siswa SMA di 34 propinsi, 7,7 persen mengaku bersedia melakukan tindakan radikal.
Bulan Agustus ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah memulai kampanye melawan radikalisme di masjid. Lembaga ini menyusun naskah khutbah sholat Jumat, yang dibacakan serentak di 35 ribu masjid di seluruh Jawa Tengah. Upaya ini menjadi bagian dari kampanye ke sekolah, perguruan tinggi, pondok pesantren dan kelompok pengajian yang terus dilakukan.