TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyayangkan sesat pikir Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo menganggap operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Tegal, Selasa (29/8/2017), merupakan upaya pengalihan isu.
Demikian menurut Koordinator Divisi Investigasi Indonesian Corruption Watch (ICW) Febri Hendri, kepada Tribunnews.com, Rabu (30/8/2017).
"Ini merupakan contoh sesat pikir yang sering dialami oleh politisi," ujar Febri Hendri kepada Tribunnews.com.
Apalagi ketika Ketua Komisi III DPR RI itu menyamakan OTT Wali Kota Tegal seperti saat mantan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syarifuddin Umar melaporkan KPK ke Panitia Khusus Angket KPK karena merasa dikriminalisasi.
Syarifuddin menerima Rp 100 juta dari KPK sebagai biaya ganti rugi atas penyitaan yang dilakukan KPK.
Penyerahan uang dilakukan di ruang rapat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Tak lama setelah Syarifuddin menerima ganti rugi, petugas KPK kemudian menangkap panitera pengganti pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tarmizi.
"Dalam bahasa latin, sesat pikir disebut post hoc ego prophter hoc yang artinya "karena itu maka jadi begitu". Intinya, dua kejadian berurutan belum tentu bisa disimpulkan berkaitan apalagi memiliki implikasi," kata Febri Hendri.
Jadi, tegas dia, dua kejadian hakim Syarifuddin Umar melaporkan KPK ke pansus dan kejadian OTT panitera pengganti PN Jaksel memang terjadi secara berurutan.
Tapi, ia yakini, urutan kejadian tersebut bukan bukti keterkaitan keduanya.
Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo menganggap OTT yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Tegal, Selasa (29/8/2017), merupakan upaya pengalihan isu.
KPK menangkap Wali Kota Tegal Siti Masitha.
"Menurut saya ini kan mengembangkan opini publik. Kami sudut pandang politik saja. Setiap ada peristiwa pasti ada OTT," kata Bambang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/8/2017).
Ia menambahkan hal itu sama seperti saat mantan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syarifuddin Umar melaporkan KPK ke Panitia Khusus Angket KPK karena merasa dikriminalisasi.