Untuk itu kata dia, baiknya satgas KPK-Polri memfokuskan diri pada praktek ini.
Jika satgas ini dapat memutus rangkaian pendonor dana politik ilegal ada kemungkinan besar suplai dana ke pemilih juga akan berkurang.
"Dengan kewenangan besar yang ada pada KPK dan polisi, serta keahlian yang mereka punyai, pilihan pada fokus ini tepat dan sangat berarti," jelasnya.
Menurut Ray, perlu memikirkan aturan perundangan yang dipakai dalam menuntut pelaku politik uang.
Dalam artian, tidak hanya memakai UU Pemilu/Pilkada, tapi bisa juga mempergunakan aturan yang lain. Tujuannya untuk memperberat sanksi yang diajukan terhadap para pelaku politik uang.
Sebelumnya, Tito Karnavian mengatakan, proses demokrasi, termasuk pilkada, membutuhkan biaya tinggi. Untuk kampanye saja, calon bupati harus merogoh kocek Rp 30 miliar-Rp 40 miliar.
Sementara calon gubernur memerlukan dana lebih besar, sekitar Rp 100 miliar.
Calon kepala daerah tersebut perlu membangun jaringan setidaknya satu hingga dua tahun.
Salah satu cara instan agar menarik minat masyarakat adalah dengan membagikan uang atau bahan pokok.
"Begitu sudah terpilih jadi kepala daerah, gaji seorang bupati paling top dengan segala tunjangan Rp 300 juta. Dikali 12, Rp 3,6 miliar. Dalam lima tahun yang keluar berapa? Apa mau tekor?" kata Tito.
Karena ingin modal saat kampanye kembali, kata Tito, cara-cara kotor pun dilakukan.
Di situlah korupsi muncul. Kepala daerah mengambil komisi dari proyek, perizinan, dan lain sebagainya.
Ia menganggap, politik uang sudah membuat sistem yang memaksa kepala daerah korupsi.
Apalagi, kesadaran berdemokrasi yang bersih belum merata, terutama di kalangan bawah. Jadi, yang terjadi adalah orang yang memiliki kuasa politik memanipulasi demokrasi itu sendiri.