TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hari-hari ini kita sedang dihadapkan pada situasi yang rentan dengan perpecahan antar umat beragama.
Diawali dengan kasus penyerangan seorang Ulama NU Kiai Umar Bisri di Cicalengka. Disusul pemukulan Komandan Brigade PERSIS Prawoto hingga tewas oleh sosok tak dikenal. Tersangka diduga orang yang kelainan jiwa.
Selang beberapa waktu, ada aksi persekusi terhadap Biksu Mulyanto. Persekusi dilakukan karena provokasi segelintir orang, bahwa rumah itu dijadikan tempat ibadah.
Tak lama, terjadi penyerangan di Gereja Katolik Lidwina, di Sleman.
Aksi itu sempat melukai para jemaat misa dan Romo Karl Edmund mengalami beberapa luka sabetan senjata tajam. Beberapa berita tentang penyerangan imam masjid di Aceh dan perusakan masjid di Tuban viral di media sosial.
Baca: Masyarakat Sebaiknya Berhati-hati Dalam Menggunakan Media Sosial kata Imdadun Rahmat
Dalam siaran persnya, Selasa (13/2/2018), Direktur Said Aqil Siroj Institute, M. Imdadun Rahmat menangkap adanya tanda bahaya.
Sejalan dengan apa yang sudah dirilis SETARA Institute dan Wahid Foundation sebelumnya, M. Imdadun Rahmat menilai bahwa rangkaian peristiwa kekerasan ini bisa memicu konflik antar agama yang lebih luas.
"Sebab terlihat pola yang mengarah pada provokasi kecurigaan kepada kelompok agama lain. Arahnya adu domba," ujar Imdadun Rahmat.
Secara khusus, Imdadun menilai bahwa Yogyakarta sudah lampu kuning untuk kehidupan toleransi.
"Secara keseluruhan gerakan Intoleransi di negeri ini kian mewabah dan merusak harmoni kehidupan beragama akhir-akhir ini," ujar Imdadun Rahmat.
SAS Institute menilai hal ini juga dimanipulasi secara politis untuk melakukan delegitimasi terhadap pemerintah.
"Permasalahan berikutnya, selalu ada kelompok dan kubu politik oposan yang memaknai peristiwa itu sebagai kegagalan pemerintah dan mengambil keuntungan secara politis atas aksi-aksi tersebut," kata Imdadun.
Menurur dia, kejadian-kejadian ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua sebagai bangsa.