"Saya jelaskan, jangan salahkan cadarnya, jangan salahkan hijabnya. Kalau ada yang memakai cadar tapi tindakannya kurang Islami, yang keliru orangnya bukan cadarnya," kata Tyas.
Tyas merasa nyaman dengan cadar yang ia kenakan meski ia pernah mengalami perlakuan yang tidak mengenakkan.
"Ada yang bilang saya maling, bahkan pernah saya dilempar botol minuman. Menghadapi ini, saya memilih tidak konfrontatif, saya abaikan saja," katanya.
Tapi cadar juga mengantarkannya mendapatkan pekerjaan. "Ada bos yang meminta saya bekerja di perusahaannya. Jadi pekerjaan yang melamar saya."
Dalam Islam ada dua pandangan soal cadar, sebagian ulama mewajibkan sebagian lagi menyatakannya sebagai sunah, yang berarti dianjurkan untuk dilakukan tapi kalau tidak, bukan hal yang menyebabkan dosa.
Faktor eksternal
Ani Indriani, Muslimah di Jakarta mengatakan sudah ingin memakai cadar, cuma belum bisa diwujudkan sepenuhnya karena sang ayah khawatir cadar akan membuat orang beranggapan 'ia menjadi eksklusif'.
"Niat sudah ada ya untuk bercadar, tapi ketika bertemu dengan orang tua, ayah bilang tak usah memakai cadar," kata Ani.
Ani mengatakan mungkin sang ayah tak ingin dirinya dianggap 'eksklusif' akibat cadar yang ia kenakan. Untuk sementara ini, ia memilih 'jalan tengah' dengan memakai masker untuk menutup bagian di bawah mata hingga ke dagu.
Sama seperti Tyas, Ani juga mengatakan niat memakai cadar lebih didasari oleh faktor pengalaman spiritual, selain juga karena ajaran agama.
"Itu berawal ketika saya umrah dan melihat banyak perempuan yang mengenakan cadar. Saya melihat kok mereka sepertinya tenang, jauh lebih nyaman," kata Ani.
Dari pengalaman pribadinya, bisa dikatakan menutup seluruh wajah dan hanya menyisakan bagian mata, membuatnya jauh lebih nyaman dan lebih dekat ke Tuhan.
"Enak banget ke mana-mana dengan menutup wajah," imbuhnya.
Ia tidak setuju jika cadar dikaitkan dengan radikalisme atau ekstremisme.