Laporan Reporter Tribunnews, Amriyono Prakoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Volume suara Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung, Suratno terdengar meninggi ketika berbicara soal data Komisi Yudisial terkait rekomendasi sanksi hakim sebanyak 58 orang.
KY, kata dia, seharusnya tidak mengurusi soal teknis yudisial. Alasannya, hal itu sama sekali bukan kewenangan KY. Namun, selama ini, KY dinilai selalu masuk dalam ranah tersebut.
"Kalau soal teknis yudisial, itu sudah bukan kewenangan KY. Tidak ada kewenangan mereka disitu. Maka, memang benar, rekomendasi mereka tidak kami jalankan," tegasnya di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (13/3/2018).
KY, kata Sunarto, seharusnya paham mengenai aturan bersama nomor 02 Tahun 2012. Bahwa, kewenangan KY hanya sebatas pelanggaran kode etik. Seperti membawa ponsel ke ruang sidang dan hal lainnya.
"Bisa dicek, kalau pelanggaran kode etik hakim, rekomendasi mereka selalu kita ikuti. Tapi, kalau urusan teknis, itu sudah masuk penegakan hukum," tambahnya.
Ditekankan olehnya, tidak ada satupun hakim yang ditangkap oleh KPK, berasal dari rekomendasi Komisi Yudisial.
"Saya tegaskan, tidak ada satupun hakim yang ditangkap oleh KPK atas rekomendasi KY," kata dia dengan suara meninggi.
Baca: Wow, Jadi Box Office, Film Black Panther Raup Pendapatan 1 Miliar Dolar di Seluruh Dunia
Komisi Yudisial (KY) bersuara soal Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Hakim Pengadilan Negeri Tangerang pada Senin (12/3/2018) kemarin.
"Terhadap peristiwa yang kembali terjadi, ini sebuah pukulan telak untuk kesekian kali bagi dunia peradilan," tegas Jubir KY, Farid dalam pesan singkatnya, Selasa (13/3).
Farid menuturkan pihaknya bisa menyebut oknum saat terjadi OTT pada aparat peradilan, ketika hanya sekali pada kurun waktu tertentu.
Namun beda cerita jika terjadi fenomena penangkapan terhadap aparat pengadilan oleh KPK dalam kurun waktu dua tahun berturut-turut.
"Kami tidak omong kosong tentang fenomena tersebut. Kami minta tidak lagi bertanya apa yang sudah dilakukan KY. Jika ada yang sadar bagaimana rentetan peristiwa ini terjadi," tuturnya.
Farid melanjutkan sedari awal pihaknya telah mengingatkan jika sebagian besar rekomendasi KY tidak dijalankan oleh Mahkamah Agung dan peradilan tidak benar-benar mau berubah, peristiwa tersebut akan terus terjadi.
Sejauh ini, kata Farid langkah pembinaan yang dilakukan Mahkamah Agung agar para hakim senantiasa terjada integritasnya sudah cukup baik.
Baca: Nissan Pastikan Kembaran Mitsubishi Xpander Tidak Akan Seperti Avanza dan Xenia
Baca: Kronologi Lengkap Artis Cynthia Ramlan Hampir Terlindas Mobil Saat Syuting Sinetron Stripping
Namun KY sebagai pengawas eksternal berharap langkah pembersihan itu dilakukan pula dengan menindaklanjuti rekomendasi sanksi yang diberikan KY.
Terlebih sepanjang 2017, KY merekomendasikan penjatuhan sanksi kepada 58 orang hakim yang dinyatakan terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.
"Namun tidak semua rekomendasi sanksi ini berlangsung ditindaklanjuti dengan berbagai alasan. Karena itu kami pastikan tragedi yang sama akan selalu berulang melalui peran lembaga lain," tegasnya.
Farid juga mengungkap sejak tahun 2009, isu suap dan gratifikasi pada lembaga peradilan dari sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) cukup mendominasi hingga sekarang.
Terhitung dari total 49 sidang MKH, 22 laporan diantaranya merupakan praktek suap dan gratifikasi, secara tidak langsung sekitar 44,9% sidang MKH acap kali dihiasi dengan isu praktek suap dan jual beli perkara setiap tahunnya.
"Sejak 2012 terdapat 28 orang di lingkungan peradilan yang terjerat penangkapan KPK. Dari 28 orang itu dengan rincian 17 orang hakim dan 9 orang panitera/pegawai pengadilan," kata dia.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diketahui, menetapkan empat orang tersangka terkait praktik dugaan suap pengurusan putusan perkara di Pengadilan Negeri Tangerang.
Keempatnya yakni Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Wahyu Widya Nurfitri, Panitera Pengganti PN Tangerang, Tuti Atika, Agus Wiratno dan HM Saipudin selaku advokat. Total suap yang diterima hakim senilai Rp 30 juta untuk memenangkan perkara perdata yang sedang disidangkan.
"WWN dan TA diduga sebagai penerima (suap), sementara AGS dan HMS diduga sebagai pemberi," ujar Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan, di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (13/3).
KPK menetapkan empat tersangka, yaitu Wahyu dan Tuti yang diduga sebagai penerima, dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dan sedangkan terhadap Agus serta Saipudin sebagai pemberi, dijerat pakai Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.