News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Cerita Korban Sandera Kelompok Bersenjata Benghazi, Dirampas Harta Bendanya hingga Celana Dalam

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ronny William, sebelah kanan dari Menteri Luar Negeri Retno Marsudi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tanggal 23 September 2017, menjadi hari nahas bagi enam orang anak buah kapal (ABK) Salvatur 6 berbendera Malta.

Keenam laki-laki WNI ini menjadi korban penyanderaan kelompok bersenjata Benghazi, Libya, ketika sedang mencari ikan.

Nama dari para korban antara lain Ronny William asal Tanjung Priok, Jakarta Utara; Joko Riadi asal Blitar, Jawa Timur; dan empat orang asal Tegal, Jawa Tengah yaitu Haryanto, Saefuddin, Waskita Ibi Patria dan Muhammad Abudi.

Ronny, perwakilan korban sandera, menceritakan bahwa penyanderaan terjadi ketika kapal tempat ia bekerja baru saja melaut untuk menangkap ikan.

"Sekira 27 mil dari lepas pantai Benghazi, Libya, kami disandera semua," ujar Ronny do Kantin Diplomasi, Kemenlu, Jakarta Pusat, Senin (2/4/2018).

Ia mengatakan semua barang yang ada di kapal yang dikapteni oleh pria Italia itu, dirampas oleh kelompok tersebut.

Tak ada barang yang tersisa ataupun ditinggalkan oleh para milisi anti pemerintahan pusat Libya itu.

Alat navigasi kapal, hingga barang pribadi para ABK turut berpindah kepemilikan tangan.

"Semua dirampas, dari alat navigasi, kemudian alat komunikasi kami, kulkas, freezer, hingga celana dalam," ungkap Ronny.

"Ya, celana dalam kami juga diambil," imbuhnya menegaskan.

Ia mengatakan hal ini kemungkinan tak lepas dari kondisi Benghazi sebagai daerah konflik, dimana semua barang dibutuhkan untuk bertahan hidup.

Pria berusia 44 tahun itu juga mengungkap ketidaktenangan dirinya dan kawan-kawannya selama disandera.

Tempat ia disandera, lanjutnya, tak jauh dari medan pertempuran yang sedang berlangsung di Benghazi.

Ia mengatakan jarak tempat perang berkecamuk tak lebih dari 2 kilometer.

"Iya, jadi tiap hari sampai tanggal 26 Desember (2017), kita tidak pernah tenang. Pesawat mem-bom, dan pertempuran hanya berjarak 1-2 kilometer," terangnya sambil menerawang seolah mengingat kembali keadaan disana.

"Kadang ada peluru nyasar. Atau bom yang jatuh di laut, tak jauh dari kapal tempat kami disandera," katanya.

Barulah, kata Ronny, suasana menjadi agak tenang ketika memasuki bulan Januari. Hal itu tak lepas karena kota yang menjadi medan pertempuran telah berhasil jatuh ke tangan milisi Benghazi.

"Bulan Januari agak tenang karena kota sudah dikuasai milisi," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini