"Pertama kali ke sini, dia minta surat domisili untuk mengurus SIUP. Terus saya tanya, usahanya apa? Katanya bikin minyak-minyak tadi," ungkap dia.
Dibanding para tetangga lain, ia tergolong lebih akrab dengan Dita.
Soalnya, mereka sering salat berjamaah di musala setempat.
Menurut dia, Dita dan dua anak laki-lakinya hampir ke musala setiap saban salat.
Tapi mereka jarang mengobrol banyak. Kecuali hanya saling melempar senyum.
Tak ada yang mencolok dari penampilan Dita dan sang istri, Puji Kuswati.
Dita tak pernah menunjukkan penampilan yang terlalu berlebihan.
"Dia tidak pernah pakai kopyah. Tidak pernah pakai sarung. Ya seperti saya biasa ini," imbuhnya.
Puji Kuswati juga tak pernah tampil bercadar, seperti ketika ia dan ketiga anaknya mengebom Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro, Surabaya.
Saat arisan perkumpulan RT saban bulan, Puji selalu tampil biasa.
"Saya cuma pernah lihat dia sekali pakai cadar. Waktu itu mau Idul Qurban."
"Saya ke rumahnya untuk tanya apakah Pak Dita mau berqurban."
"Di sana istrinya kelihatan pakai cadar. Mereka rutin berqurban saban tahun dulu," ujar pria yang sudah 20 tahun menjabat ketua RT itu.
Sayangnya, tak banyak data detail yang bisa diulik tentang Dita dari dia.