TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kesepakatan Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menolak usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang mantan terpidana korupsi maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) di Pemilu 2019 mendapat kritikan tajam.
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) RBA menilai DPR, pemerintah dan Bawaslu tidak sensitif terhadap fakta bahwa korupsi telah menyengsarakan rakyat.
“Kami dukung langkah KPU melarang eks-koruptor nyaleg,” ungkap Ketua Peradi RBA Cabang Jakarta Pusat TM Mangunsong, yang juga Managing Partner Law Firm TM Mangunsong & Partner dalam rilisnya, Kamis (24/5/2018).
Hal senada diungkapkan Berry Sidabutar, Managing Partner Law Firm Berry Sidabutar Associates, yang juga Ketua Peradi RBA Cabang Jakarta Barat, dalam rilis yang sama.
Korupsi, kata TM Mangunsong, adalah extraordinary crime (kejahatan luar biasa), sehingga untuk memberantasnya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa pula.
“Usulan KPU yang melarang eks-koruptor nyaleg adalah terobosan luar biasa, yang perlu diapresiasi, dan bagian dari melawan korupsi dengan cara luar biasa pula,” tegasnya.
Bahkan TM Mangunsong menyatakan bila perlu ada sanksi yang lebih tegas lagi kepada eks-koruptor berupa pemiskinan dan saksi sosial lain yang membuat malu para koruptor tersebut, di samping mencabut hak politik mereka,
Mangunsong menegaskan, korupsi harus diperangi dengan segala cara, jangan malah diberi ruang kepada koruptor. "Hal itu jelas tidak memberi edukasi yang baik bagi masyarakat untuk malu melakukan korupsi," tukasnya.
Oleh karena itu Mangunsong sangat menyayangkan DPR, pemerintah dan Bawaslu yang tidak peka bahwa korupsi adalah musuh bersama atau common enemy, sehingga untuk melawannya pun harus melibatkan semua komponen bangsa, salah satunya KPU.
“Ini untuk menciptakan detterent effect (efek jera), jangan sampai mereka yang pernah korupsi diberi panggung lagi untuk kemungkinan melakukan korupsi lagi. Juga untuk menciptakan terapi kejut (shock teraphy) bagi calon koruptor lainnya, supaya terbayang bahwa jika melakukan korupsi maka ke depan tak bisa ikut pemilu lagi,” jelasnya.
Berry Sidabutar menimpali, DPR, pemerintah dan Bawaslu tak perlu mempertanyakan dasar hukum pelarangan eks-koruptor nyaleg, karena dasar hukumnya ya Peraturan KPU itu sendiri, dan bila mau dasar hukum yang lebih tinggi lagi, ialah Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Berdasarkan UU Pemilu, pelarangan caleg bekas napi koruptor bisa dilakukan lewat PKPU,” jelasnya.
KPU mencantumkan larangan bagi eks-narapidana korupsi nyaleg, baik untuk DPR RI maupun DPRD dalam Pemilu 2019, dalam Rancangan PKPU tentang Kampanye, khususnya Pasal 8 ayat (1) huruf j.
"Dalam UU Pemilu, pasal yang mengatur syarat untuk nyaleg ‘kan salah satunya bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lalu, apa rinciannya? Tidak melakukan tindakan tercela. Apa rinciannya? Salah satunya ya tidak melakukan korupsi itu," lanjut Berry.