Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sehari sebelum pengumuman deklarasi koalisi Gerindra, PAN, dan PKS, pada Kamis (9/8/2018), Wasekjen PD Andi Arief menuding Sandiaga Uno memberikan mahar politik Rp 500 miliar ke masing-masing parpol PAN dan PKS.
Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno buka-bukaan soal tudingan mahar politik yang sempat heboh menerpa dirinya ketika terpilih sebagai cawapres pasangan Prabowo.
"Terbuka aja saya bilang, ini ada biayanya kampanye, bagaimana penyediaannya. Saya bersedia untuk menyediakan sebagian dari dana kampanye, dan ada bantuan kepada tim pemenangan dan ada juga bantuan kepada partai yang mengusung, itu yang jadi komitmen kita," ujar Sandi di kawasan Pantai Ancol, Jakarta Utara, Minggu (12/8/2018).
Namun Sandi menampik bila hal itu disebut sebagai mahar.
Besok sore, kata Sandi, dirinya akan mendatangi KPK untuk kewajiban pembaharuan rutin Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) setiap tiga bulan.
Baca: PDIP: Tak Ada dalam Kamus Jokowi untuk Menggunakan Politik Jebakan
"Sebetulnya kita bisa pastikan itu tidak betul (mahar) yang disampaikan. Saya besok akan ke KPK sore habis tes kesehatan. LHKPN harus diperbaharui saya rutin tiga bulan lapor, tapi untuk capres ini kan harus diperbaharui per 30 Juni," terangnya.
Alasan kedua dirinya mendatangi KPK ialah terkait dengan perencanaan pembiayaan kampanye, dan niat baiknya menciptakan transparansi.
Sandi mengakui biaya kampanye tidak murah karena diperlukan dukungan logistik yang kuat.
"Karena saya juga ada LHKPN, saya akan declare berapa yang kira-kira saya sediakan agar semuanya terbuka terang benderang gitu, jadi tidak ada yang ditutup-tutupi," jelas Sandi.
Terlepas dari itu semua, UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu melarang segala bentuk pemberian imbalan terkait pencalonan presiden atau wakil presiden.
Jika terbukti, parpol bersangkutan tidak boleh mengusung capres-cawapres di periode berikutnya.
"Partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden," bunyi pasal 228 ayat 1.
"Dalam hal Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), Partai Politik yang bersangkutan dilarang dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya," demikian bunyi pasal 228 ayat 2.