TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Fayakhun Andriadi didakwa menerima suap 911.480 Dollar AS atau setara Rp 13,3 miliar (Rp 14.600 per dolar AS) dari Direktur Utama PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah terkait 'pengawalan' alokasi atau ploting penambahan anggaran pada Badan Keamanan Laut ( Bakamla) 2016.
Uang tersebut ditampung terdakwa di empat rekening di luar negeri.
Hal itu disampaikan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang pembacaaan surat dakwaan Fayakhun di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
"Terdakwa selaku penyelenggara negara telah melakukan beberapa perbuatan berlanjut, yaitu menerima hadiah atau janji sebesar 911.480 Dollar AS," ujar jaksa KPK, Ikhsan Fernandi, saat membacakan surat dakwaan.
Uang tersebut ditampung Fayakhun dalam empat rekening yang berada di luar negeri, di antaranya China dan Singapura.
Diungkap jaksa, Fayakhun menjanjikan anggaran Bakamla Rp 1,2 triliun. Dengan rincian, Rp 500 miliar untuk satelit monitoring dan Rp 720 miliar untuk drone.
Fahmi yang juga suami dari artis Inneke Koesherawati, menjanjikan fee sebesar 1 persen kepada Fayakun. Fayakhun meminta fee tersebut dibayarkan secara bertahap.
Menurut jaksa, setelah seluruh uang disetorkan, Fayakhun memerintahkan Agus Gunawan, stafnya mengambil uang tersebut secara bertahap.
"Rekening di China diperoleh terdakwa dari stafnya, Agus Gunawan. Agus mendapatkan nomor rekening dari Lie Ketty, pemilik Toko Serba Cantik Melawai," ucap jaksa KPK, M Takdir.
Menurut jaksa, uang tersebut patut diduga diberikan agar Fayakhun selaku anggota Komisi I DPR mengupayakan alokasi atau ploting penambahan anggaran pada Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Pada saat itu, Komisi I DPR mengusulkan tambahan anggaran Bakamla Rp 3 triliun yang termasuk proyek satelit monitoring dan drone senilai Rp 850 miliar.
Menurut jaksa, anggaran tersebut diusulkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2016.
Pada April 2016, saat kunjungan kerja Komisi I DPR ke kantor Bakamla di Jalan Sutomo Nomor 11 Jakarta Pusat, Fayakhun bertemu dengan Ali Fahmi Habsyi yang mengaku sebagai staf khusus Kepala Bakamla dan meminta Fayakhun agar mengupayakan usulan penambahan alokasi anggaran di Bakamla.
Dalam pertemuan berikutnya, Ali Fahmi mengatakan kepada Fayakhun bahwa nantinya akan disiapkan fee sebesar 6 persen dari nilai anggaran proyek untuk pengurusan anggaran tersebut.
Baca: 720 Napi se-Indonesia Langsung Bebas Setelah Mendapat Remisi Satu Bulan
Pada tanggal 29 April 2016, Fayakhun memberitahu Fahmi Dharmawansyah bahwa rekan-rekan anggota Komisi I DPR memberikan respon positif atas pengajuan tambahan anggaran Bakamla sebesar Rp3 triliun dalam usulan APBN-P tahun 2016.
Fayakhun mengatakan, nantinya dari tambahan anggaran tersebut, terdapat proyek satelit monitoring (satmon) dan drone senilai Rp 850 miliar.
Menurut jaksa, Fayakhun juga mengatakan akan "mengawal” usulan alokasi tambahan anggaran di Komisi I DPR untuk proyek-proyek di Bakamla.
Namun, dengan syarat Fayakhun mendapatkan komitmen fee dari Fahmi untuk pengurusan tambahan anggaran tersebut.
Fayakhun selanjutnya meminta tambahan komitmen fee 1 persen untuk dirinya dari nilai fee sebelumnya sebesar 6 persen.
Sehingga, total fee yang harus disiapkan menjadi sebesar 7 persen dari nilai proyek Mei 2016.
Jaksa mengatakan, terdakwa Fayakhun sempat mengancam Fahmi Darmawansyah melalui Direktur PT Rohde and Schwarz Indonesia Erwin Arief jika sisa commitment fee yang belum diberikan tak kunjung dibayarkan.
Fayakhun menyampaikannya dengan kode 'kurcaci bisa ngomel'.
"Terdakwa (Fayakhun) mengingatkan Fahmi Darmawansyah melalui Erwin Arief mengenai sisa commitment fee yang belum dikirimkan Fahmi Darmawansyah dengan mengatakan melalui pesan aplikasi WA yaitu 'Petinggi sdh. Kurcaci bisa ngomel', yang maksudnya adalah agar sisa komitmen segera dikirimkan kepada terdakwa (Fayakhun)," beber jaksa M Takdir.
Dalam pengiriman sisa commitment fee, Fayakhun meminta ditransfer ke rekening bank di Singapura. Akhirnya Erwin mengirimkan uang 110 ribu dolar AS untuk Fayakhun.
"Terdakwa memberitahu Erwin Arief melalui pesan Aplikasi Whatsapp bahwa transfer ulang uang commitment fee sebesar 110 ribu Dollar AS telah diterima dan terdakwa mengucapkan terima kasih," jelasnya.
Atas perbuatannya, Fayakhun didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Fayakhun meminta Fahmi Darmawansyah menyiapkan commitment fee sebesar 7 persen.
Jika tidak diberikan, maka Fayakhun tidak mau 'mengawal' usulan alokasi tambahan anggaran tersebut.
Tak Keberatan dan Minta Jadi JC
Terdakwa Fayakhun hanya duduk terdiam di kursi terdakwa saat tim jaksa KPK membacakan surat dakwaan kasus dugaan suap terkait proyek satelit monitoring di Bakamla untuknya.
Fayakhun memutuskan tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas surat dakwaan yang disampaikan jaksa KPK.
"Kami sepakat tidak mengajukan eksepsi yang mulia. Silakan dilanjutkan dengan pembuktian," ujar kuasa hukum Fayakhun.
Oleh karena itu, majelis hakim memutuskan untuk melanjutkan persidangan ke tahap pembuktian pada Senin, 27 Agustus 2018.
Namun, sebelum ketua majelis hakim menutup persidangan, rupanya kuasa hukum Fayakhun meminta izin untuk menyampaikan surat permohonan dari Fayakhun untuk menjadi Juctice Collaborator (JC).
"Klien kami mengajukan diri menjadi JC. Izinkan kami sampaikan surat yang yang mulia. Termasuk juga izin untuk berobat," ucap kuasa hukum Fayakhun.
Menurutnya, pengajuan JC tersebut dilatarbelakangi sikap kooperatif Fayakhun kepada KPK pada saat proses penyidikan perkara.
Di mana dalam proses penyidikan, Fayakhun telah mengembalikan uang Rp 2 miliar yang diduga terkait kasusnya kepada kPK.
Permohonan sebagai justice collaborator juga diajukan kepada KPK.
Fayakun berdiri dari kursi terdakwa didampingi kuasa hukum memberikan surat pengajuan JC ke tiga majelis hakim yang hadir saat sidang.
Justice Collaborator adalah pelaku atau tersangka yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam mengungkap hal yang lebih besar di balik kasusnya.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi di antaranya mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, dan memberikan keterangan saksi dalam proses peradilan.
Selain itu, si pelaku juga harus telah dinyatakan oleh penegak hukum yang menangani kasusnya bahwa dia telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan di penyidikan dan penuntutan sehingga dapat mengungkap tindak pidana terkait secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lain yang memiliki peran lebih besar, serta mengembalikan aset yang telah dikorupsinya.
Secara terpisah juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan dalam persidangan nanti KPK akan menghadirkan saksi dan bukti yang relevan.
Bahkan, ujar Febri, pihaknya akan menghadirkan saksi yang bisa menjelaskan proses penganggaran di proyek ini.
"Dalam persidangan nanti KPK akan menghadirkan saksi-saksi dan bukti yang relevan, termasuk pihak-pihak yang dapat menjelaskan proses penganggaran di Bakamla terkait perkara ini," imbuh Febri.
Sementara itu, terkait permohonan status JC, lanjut Febri, KPK akan melihat terlebih dahulu sejauh mana keseriusan Fayakhun untuk jujur mengakui perbuatannya dan membuka peran pihak lainnya termasuk indikasi aliran dana pada pihak lain.
Hal itu adalah syarat mutlak dalam pemberian JC kepada tersangka kejahatan.
"Keseriusan dan konsistensi di sidang nanti akan sangat berpengaruh untuk menentukan apakah JPU nanti akan menerima JC dan mempertimbangkannya sebagai alasan yang meringankan atau tidak," terang Febri.
Ditemui seusai persidangan, Fayakhun yang menggunakan kemeja putih memilih diam.
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan awak media seputar dakwaan jaksa, tidak ada satu pun yang dijawab oleh Fayakhun.
Dia memilih terus berjalan meninggalkan awak media yang terus mengikutinya. (tribun network/fel/coz)