TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih, mengenang insiden saat terkena operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Petugas dari KPK menangkap Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih dalam rangkaian OTT.
Eni ditangkap di rumah dinas Menteri Sosial RI, Idrus Marham di Kompleks Widya Chandra, Jumat (13/7/2018).
"Itu hal luar biasa. Orang KPK datang. Ada OTT. Saya terus terang kaget, karena tidak ada yang disembunyikan," kata Eni, saat bersaksi sebagai terdakwa di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (22/1/2019).
OTT diawali pada Jumat sekitar pukul 14.27 WIB, ketika tim KPK mengamankan staf Blacgold Tahta Maharaya, yang juga keponakan Eni di parkiran basement Graha BIP.
Dari tangan Tahta diamankan uang Rp 500 juta dalam pecahan Rp 100 ribu. Uang tersebut dibungkus amplop coklat dan dimasukkan ke dalam kantong plastik berwarna hitam.
Dia mengklaim Tahta tidak salah mengambil uang dari pemegang saham Blakgold Natural Resources Ltd, Johanes Kotjo.
"Rp 500 juta dari Pak Koejo diambil di kantor saya telepon Tahta. Saya perintahkan Tahta tolong ada sesuatu yang diambil dari Pak Kotjo. Tolong datang ke kantor," kata dia.
Dia menegaskan semua penerimaan itu tidak terkait dengan proyek PLTU Riau-1. Meskipun, dia mengungkapkan, pernah meminta bantuan Kotjo untuk penyelenggaraan Munaslub Golkar dan biaya pemenangan suami di Temanggung.
"Semua penerimaan tidak ada kaitan dengan PLTU. Penerimaan itu semua ada petunjuk," tambahnya.
Sebelumnya, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih didakwa menerima suap senilai Rp 4,7 miliar terkait proyek PLTU Riau-1.
Baca: Joko Widodo Sukses Memimpin Keluarganya Sebelum Memimpin Indonesia
Dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa pada Kamis (29/11/2018), uang suap itu diberikan oleh pemegang saham Blakgold Natural Resources Ltd, Johanes Kotjo.
Uang diduga diberikan agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Proyek rencananya akan dikerjakan oleh PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company yang dibawa oleh Kotjo.
Atas perbuatan itu, Eni didakwa Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 kuhp pasal 64 ayat 1 KUHP.
Selain suap, Eni juga didakwa menerima gratifikasi senilai Rp 5,6 Miliar dan 40 ribu dolar Singapura. dari sejumlah Direktur Perusahaan di bidang minyak dan gas.
Di antaranya dari Prihadi Santoso selaku Direktur PT Smelting Rp 250 juta, Herwin Tanuwidjaja selaku Direktur PT One Connect Indonesia sejumlah Rp 100 juta dan 40 ribu dolar Singapura.
Selain itu, ungkap Jaksa, Eni juga menerima uang dari Samin Tan selaku Pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal sejumlah Rp 5 miliar, dan Iswan Ibrahim selaku Presiden Direktur PT Isargas sejumlah Rp 250 juta.
Hampir semua uang suap serta gratifikasi yang diterima Eni dialirkan untuk kepentingan sang suami , M. Al Khadziq yang mengikuti pemilihan Bupati Kabupaten Temanggung tahun 2018.
Perbuatan terdakwa diancam dalam Pasal 12B ayat 1 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 tahun 2001 jungto Pasal 65 ayat 1 KUHP.