TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Utama PT PLN (Persero), Sofyan Basir mengungkapkan mempunyai kedekatan hubungan dengan anggota DPR RI. Salah satu diantaranya mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih.
Menurut dia, kedekatan hubungan dengan politisi Partai Golkar itu bermula dari hubungan kerja antara Komisi VII yang membidangi salah satunya Energi dan Sumber Daya Mineral dengan PLN.
"Saat rapat-rapat (Eni Maulani Saragih,-red) berpihak pada PLN dalam arti sangat positif. Dukungan ini kami hargai," kata Sofyan, saat memberikan keterangan sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (12/2/2019).
Dia mengaku pernah bertemu dengan Eni di luar area parlemen. Namun, belakangan Eni mengajak pemegang saham Blackgold Natural Resoursces Limited, Johannes B. Kotjo.
Meskipun bertemu pengusaha yang menginginkan proyek PLTU Riau-1 melalui perantara anggota dewan, namun, dia menegaskan, tidak ada kebijakan yang diubah untuk menguntungkan salah satu pihak.
"Hubungan sosial dan mitra kerja kami penuhi. Kami tidak ingin ketemu pengusaha, karena menghormati kami bertemu. Tidak ada yang berubah mungkin dia pikir di tingkat atas berubah, tetapi tidak pernah berubah sampai waktu lewat," kata dia.
Di kesempatan itu, dia mengaku tidak mengenal Kotjo.
Baca: Dipanggil Tukang Bakar dan Tenggelamkan Kapal, Susi: Saya Menteri KKP
"Mohon maaf, saya tidak dekat sama pak Kotjo. Hanya sebatas profesional," tegasnya.
Lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK menanyakan kepada Sofyan Basyir apakah kedekatan hubungan ini hanya dengan Eni.
"Anggota Komisi VII yang lain seperti ini, bukan hanya Ibu Eni?" tanya JPU pada KPK kepada Sofyan Basyir.
Sofyan mengaku menjalin hubungan dengan sejumlah anggota DPR RI terutama dari komisi VI dan komisi VII.
"Banyak, sebelum mereka menjadi anggota DPR sudah berhubungan. Ada anak kawan saya menjadi anggota DPR di komisi VI, komisi VII. Jadi banyak kenal," tambahnya.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Idrus Marham bersama-sama dengan anggota Komisi VII DPR RI periode 2014-2019, Eni Maulani Saragih terlibat menerima uang Rp 2,25 Miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo.
Johanes Kotjo merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources, Ltd (BNR, Ltd). Uang itu diberikan untuk proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Dalam surat dakwaan itu, JPU pada KPK menyebut pemberian uang itu diduga agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Baca: Dino Patti Djalal Gagas Know Your Caleg Bagi Diaspora Indonesia
Rencananya, proyek akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
Semula, Kotjo melalui Rudy Herlambang selaku Direktur PT Samantaka Batubara mengajukan permohonan dalam bentuk IPP kepada PT PLN Persero terkait rencana pembangunan PLTU.
Tetapi, karena tidak ada kelanjutan dari PLN, akhirnya Kotjo menemui Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Lalu, Kotjo meminta bantuan Novanto agar dapat dipertemukan dengan pihak PLN.
Kemudian, Novanto mempertemukan Kotjo dengan Eni yang merupakan anggota Fraksi Golkar yang duduk di Komisi VII DPR, yang membidangi energi.
Selama perjalanan kasus ini, Eni beberapa kali mengadakan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU.
Di dalam surat dakwaan disebutkan, penyerahan uang dari Kotjo kepada Eni atas sepengetahuan Idrus Marham. Idrus saat itu mengisi jabatan ketua umum Golkar, karena Setya Novanto tersangkut kasus korupsi pengadaan e-KTP.
JPU pada KPK menduga Idrus berperan atas pemberian uang dari Kotjo yang digunakan untuk membiayai musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar. Idrus disebut meminta agar Kotjo membantu keperluan pendanaan suami Eni Maulani saat mengikuti pemilihan kepala daerah.
Atas perbuatan itu, Idrus didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.