TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengecam penangkapan Robertus Robet, aktivis dan dosen sosiologi dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Dalam pernyataan resmi bersama, LBH Pers dan ICJR menilai hal itu merupakan ancaman bagi kebebasan berekspresi.
Polisi telah menetapkan Robertus sebagai tersangka ujaran kebencian dengan tuduhan pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45a ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Pasal 14 ayat 2 juncto Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atas orasinya di Aksi Kamisan beberapa waktu lalu.
Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin, mengatakan kebebasan berekspresi merupakan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi Indonesia.
Baca: Peringatan Dini Gelombang Tinggi Perairan Indonesia 7-10 Maret 2019, Angin Kencang di Laut Banda
Sebab, apa yang Robertus Robet lakukan telah mendapat dukungan oleh Konstitusi.
"Pengekangan terhadap hak itu adalah pelanggaran hukum serius serta mencederai amanat konstitusi," kata Ade dalam keterangan resmi, Kamis (7/3/2019).
Ade mengatakan, pengenaan pasal Pasal 28 ayat 2 UU ITE terkait Ujaran Kebencian kepada Robertus tidak masuk akal.
Alasannya saat Robertus berorasi dan menyanyikan lagu sindiran untuk ABRI di era orde baru, ia melakukannya tidak melalui sistem elektronik namun secara offline.
Selain itu, rumusan pasal tersebut sama dengan Pasal 156 KUHP menyaratkan ujaran kebencian harus bersifat propaganda dan penghasutan bukan sekedar “penghinaan” atau “tuduhan”.
"Yang lebih fatal adalah karena baik UU ITE dan KUHP mendasari pidana ini pada perbuatan berbasis SARA dan atau golongan dalam masyarakat, pejabat pemerintah ataupun lembaga negara tidak masuk dalam kategori ini. Pemaksaan penggunaan pasal ini adalah upaya kriminalisasi pada Robertus Robet," katanya.
Ia menjelaskan, penjeratan Robertus dengan pasal berita bohong atau Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tidak tepat.
Alasannya pasal tersebut mensyaratkan tiga unsur penting, yakni harus ada berita, mengandung unsur keonaran di masyarakat, dan patut menduga bahwa berita dan atau pemberitaan itu bohong.
"Dalam konteks ini, refleksi dari akademisi Robet tersebut sangat tidak pas dikategorikan menyebabkan keonaran, karena isu Dwifungsi TNI tersebutlah yang menjadi penyebab keonaran di masyarakat dengan dibuktikan pada banyaknya penolakan rencana diaktifkannya kembali Dwifungsi TNI," kata Ade.
Terlebih, kata Ade, tidak ada nilai informasi dari ujaran Robertus lantaran lagu yang ia nyanyikan telah lama digunakan dalam pergerakan mahasiswa sehingga tidak lagi relevan menyebutkan apakah nyanyian itu berita bohong atau tidak.