Pihaknya meminta pemerintah meninjau ulang proyek-proyek yang termasuk ke dalam Proyek Strategis Nasional.
"Mengingat keterbatasan anggaran, pemerintah sebaiknya lebih memprioritaskan proyek-proyek yang akan berdampak langsung terhadap sektor industri manufaktur, seperti jaringan jalan publik untuk angkutan barang dan akses ke infrastruktur utilitas seperti pembangkit listrik dan ladang gas bumi," katanya.
Pemerintah dan pelaksana proyek harus benar-benar menyiapkan kajian awal secara lengkap, termasuk soal skema pembiayaan.
Proyek Strategis Nasional bernilai ekonomi sebaiknya dibiayai oleh Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau murni swasta, sehingga tak membebani APBN dan keuangan BUMN.
Pemerintah juga harus memastikan bahwa masyarakat terdampak proyek mendapatkan ganti rugi atas tanah mereka sebelum pengerjaan proyek dimulai.
Selain itu, Pemerintah harus secara seksama mempertimbangkan dampak proyek terhadap kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat di sekitar lokasi proyek, sehingga proyek tak malah menjauhkan masyarakat, terutama dari golongan menengah ke bawah, dari mata pencaharian dan lingkungan sosial mereka.
Ekonom Faisal Basri mengamini bahwa BUMN karya menanggung beban utang sangat besar demi membiayai proyek infrastruktur pemerintah.
Proyek infrastruktur yang saat ini dikerjakan juga dibiayai oleh BUMN karya yang ditunjuk pemerintah.
“Modalnya (BUMN-BUMN karya itu) didapat dari utang. Jadi BUMN ditugaskan bikin LRT, trans Sumatera, jalan tol, melibatkan Wijaya Karya, Waskita, Adhi Karya. Itu penugasan," katanya.
Faisal menyebut sebagian dikasih penyertaan modal negara (PMN) kemudian BUMN yang utang.
"Nah, utang BUMN itu naik itu. Bukan utang pemerintah pusat saja yang naik. Utang BUMN juga naik dari zaman Pak SBY Rp500 triliun naik menjadi Rp805 triliun di era Presiden Jokowi. Ada tambahan utang Rp400 triliunan itu,” kata Faisal.
Sebagian infrastruktur yang kasat mata saat ini tidak dibiayai oleh APBN tapi utang.
Sebagian besar utang tersebut dalam bentuk valas, di mana utangan berbentuk mata uang rupiah tapi membayarnya dalam bentuk mata uang dolar.
Mengenai infrastruktur ini, sempat ditanggapi Jokowi saat calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto mempertanyakan saat debat.