TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) disarankan merancang strategi khusus untuk menderadikalisasi pelaku teror perempuan menyusul aksi Solimah, istri terduga teroris Husain alias Abu Hamzah, yang meledakkan diri setelah gagalnya proses negosisasi dengan Densus 88 selama hampir sepuluh jam.
Ini karena peran istri atau perempuan dalam aksi-aksi radikalisme saat ini sangat dominan, kata pengamat.
Kepolisian Indonesia menyebut, pemahaman radikalisme Solimah dipengaruhi oleh suaminya Husain alias Abu Hamzah. Keluarga itupun, kata Juru Bicara Mabes Polri, Dedi Prasetyo berencana melakukan aksi teror seperti yang dilakukan keluarga Dita Oepriarto di Surabaya, Jawa Timur, pada Mei 2018.
"Kalau melihat kenekatannya begitu ya iya, dia terinspirasi dari kejadian di Surabaya itu," ujar Juru Bicara Mabes Polri, Dedi Prasetyo kepada BBC News Indonesia, Kamis (14/03).
Baca: Pascaledakan Bom di Sibolga, Warga Sekitar Lokasi Kejadian Harus Mengungsi
Hasil pemeriksaan pula diketahui, keyakinan Solimah terhadap radikalisme lebih kuat dan ekstrem dari suaminya. Itu mengapa ketika Densus 88 membawa Husain ke rumahnya yang terletak di Jl. KH Ahmad Dahlan, Gang Sekuntum, Pancuran Bambu, Sibolga, Sumatera Utara, untuk membujuk tak berhasil.
"Husain alias Abu Hamzah bilang, 'Saya nggak yakin bisa meluluhkan hati istri saya karena pemahaman istri saya terhadap ideologi sangat keras'," kata Dedi.
Karenanya, Kepolisian tengah mempelajari serangan-serangan terorisme yang melibatkan istri beserta anak-anaknya.
Dalam catatan polisi, aksi semacam ini baru ada tiga, dua di antaranya terjadi di Surabaya dan Sidoarjo.
Selain itu Densus 88 juga mulai melibatkan polisi wanita (polwan) ketika menginterogasi terduga teroris perempuan.
Sebab bagaimanapun, kata Dedi, peran mereka tak kalah kuat dibanding laki-laki.
"Densus sudah berdayakan polwan untuk memonitor perkara yang melibatkan perempuan dalam kelompok-kelompok itu. Jadi tidak hanya laki-laki. Misalnya dalam interogasi," sambungnya.
Lebih jauh Kepolisian menyebut pasangan suami istri tersebut belajar tentang merakit bom enam tahun lalu di beberapa wilayah di Pulau Jawa.
"Belajar merakit bom itu enam tahun lalu, makanya dia sangat ahli dilihat dari jenis-jenis bom yang dirakit banyak variannya."
Pesan tersirat Solimah
Pengamat Terorisme, Sofyan Tsauri, menyebut aksi meledakkan diri yang dilakukan Solimah, istri terduga teroris Husain alias Abu Hamzah, memberi pesan khusus kepada para pelaku terorisme lainnya, khususnya perempuan.
"Itu pesan tersirat untuk perempuan dan laki-laki, 'Apa iya nggak ada laki-laki yang bermain? Enggak malu anthum sama perempuan? Perempuan sudah bermain," ujar Sofyan Tsauri yang juga merupakan bekas narapidana terorisme, kepada BBC News Indonesia, Kamis (14/03).
"Jadi kasus ini akan memicu perempuan-perempuan beraksi, akan berlanjut," sambungnya.
Dari pengamatannya, peran perempuan yang berafiliasi dengan kelompok ISIS sangat dominan. Bahkan dalam beberapa kasus yang ia temui, perempuan atau istri bisa mendorong suaminya agar melakukan 'amaliyah' ke Suriah.
"Dalam kelompok radikal seperti ISIS, perempuan begitu dominan, betul-betul mempunyai semangat yang tinggi daripada laki-lakinya," jelasnya.
"Karena beberapa kali kita lihat kasus terorisme, justru perempuan yang menawarkan."
Lebih jauh ia mengatakan, mayoritas para terduga teroris perempuan terdoktrin oleh pasangannya dan jika sudah terpapar pemahaman radikalisme sulit untuk diredam. Itu mengapa, Sofyan mengaku tak kaget dengan aksi Solimah yang memilih meledakkan diri ketimbang mengikuti bujukan suaminya agar menyerah.
"Sekalinya terdoktrin sulit lepasnya. Maka apapun, siapapun sampai suami tidak bisa memediasi, tidak akan diterima. Mereka memilih mati daripada menyerahkan diri."
Untuk itu, ia menyarankan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) agar merancang strategi khusus untuk menderadikalisasi pelaku teror perempuan. Sebab selama ini objek deradikalisasi lebih menyasar laki-laki.
"Karena kalau perempuan sudah didoktrin, sangat kuat apalagi ini masalah keyakinan. Jadi nggak kalah strong," ujarnya.
Setidaknya sejak 2016 lalu fenomena pelibatan perempuan dalam aksi terorisme terbaca pada penangkapan Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari. Keduanya adalah mantan buruh migran di luar negeri dan diduga berafilisasi dengan ISIS.
Dalam pemeriksaan di Polisi, Dian disebut akan menjadi pembom bunuh diri di sekitar Istana Negara, sedangkan Ika akan melakukan aksi bom bunuh diri di Bali.
Adapun tahun lalu, Dita Oepriarto dan Puji Kuswati menjadi pasangan suami istri bom bunuh diri pertama di Indonesia. Dita mengajak istri dan anak-anaknya meledakkan bom di gereja di Surabaya, Jawa Timur. Disusul keluarga Anton Ferdiantono di Rusun Wonocolo, Sidoarjo.
"Ke depan program-program deradikalisasi harus satu paket dengan melibatkan perempuan, istri-istrinya. Karena mereka teradikalisasi sama-sama, keluar juga sama-sama," tukasnya.
Kontra-radikalisme kepada kelompok perempuan
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris, mengatakan sejak Februari lalu pihaknya telah membentuk kelompok kerja yang melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga untuk melakukan kontra-radikalisme ke kelompok perkumpulan perempuan.
Lembaga pemerintah yang digandeng itu meliputi Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
"Intinya mengajak masyarakat agar aware terhadap terorisme," ujar Irfan Idris kepada BBC News Indonesia.
Kontra-radikalisme itu, kata Irfan, akan difokuskan di empat lokasi yakni Medan, DKI Jakarta, dan Banten, Jawa Barat. Dari situ, anggota kelompok kerja akan memantau ada atau tidaknya gejala aksi terorisme.
"Jadi bagaimana mengajak mereka memahami bahaya radikalisme dan gejala-gejala yang ditimbulkan," ujarnya.
Dalam pengamatannya, perempuan atau istri yang terpapar radikalisme akan lebih kuat keyakinannya ketimbang laki-laki. Sebab pelaku teror perempuan menggunakan emosional daripada rasionalnya.
"Kekuatan emosional itu sangat berakar ketimbang dirasionalkan. Kalau pakai hati, emosional, yang bermain, buktinya sudah banyak seperti di Surabaya itu. Suami dan anak-anak, ikut juga akhirnya," jelasnya.
Karena itu, kata Irfan, tidak mudah menderadikalisasi pelaku teror perempuan.
"Mereka menjadi radikal pun tidak singkat, butuh proses panjang. Makanya kita ubah keyakinannya bagaimana membaca sejarah atau konsep Islam yang komprehensif supaya jangan tunggal."