Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua KPU RI Arief Budiman menilai pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 sudah berjalan cukup baik.
Soal adanya pihak yang menilai banyak kerumitan akibat Pemilu legislatif dan presiden dilakukan serentak, hal tersebut dianggapnya sebagai culture shock di tengah masyarakat.
Alasannya pesta demokrasi yang dilaksanakan secara serentak baru pertama kali dilakukan Indonesia.
"Sebetulnya ini sudah baik. Cuma karena ini baru pertama kali, terus orang kena shock culture," ungkap Arief Budiman di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Selasa (2/7/2019).
Terkait evaluasi Pemilu tahun ini, Arief Budiman belum mau membeberkannya.
KPU baru akan mengevaluasi pelaksanaan Pemilu 2019 usai rampungkan proses sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Paling cepat rekomendasi hasil evaluasi Pemilu 2019, dilakukan bulan Agustus ini.
"Nanti aja Agustus saya jawab. Setelah selesai sengketa ini kita bikin evaluasi baru kita bisa jawab itu, perlu dipisah, perlu diperbaiki lah," ujarnya.
Baca: Berkas Belum Rampung, Sidang Tuntutan Joko Driyono Ditunda Hingga Kamis 4 Juli 2019
Baca: Kuota Migrasi ke Australia Dikurangi, Tapi Banyak Kesempatan di Pedalaman
Baca: Langkah Jokowi Usai Ditetapkan Jadi Presiden Terpilih, Bertemu Pimpinan Parpol hingga Bicara Kabinet
Diberitakan sebelumnya, Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan mengatakan pihaknya merekomendasikan pemilu serentak periode mendatang agar dibagi dalam dua jenis.
Yakni Pemilu lokal (daerah) dan nasional.
"Salah satu keserentakan yang akan kita rekomendasikan adalah Pemilu tetap serentak, tapi kita bagi dalam dua jenis besar, yaitu Pemilu lokal dan nasional," kata Wahyu di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Senin (1/7/2019).
Baca: KPU Masih Menimbang-nimbang Pentingnya Hadirkan Saksi Untuk Sengketa Hasil Pileg 2019
Katanya, hal yang dijadikan dasar rekomendasi tersebut ialah soal beban kerja petugas maupun pengawas Pemilu yang terlalu padat.
Apalagi bila diingat, banyak petugas Pemilu wafat maupun jatuh sakit saat pelaksanaan Pemilu serentak 2019 tahun ini.
Maka, upaya untuk mengurangi beban kerja mereka, KPU berpandangan diperlukan pemisahan dua pemilu yakni lokal dan nasional, tanpa mengesampingkan asas keserentakannya.
Tak ada beda rasa
Ketua KPU RI Arief Budiman mengaku tak membeda-bedakan penanganan antara sengketa hasil pemilihan presiden dengan pemilihan legislatif yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Sebab katanya, para Komisioner apalagi dirinya sudah merasa terbiasa menangani sengketa di MK sebagai bagian tanggung jawab tugas penyelenggara Pemilu.
"Nggak, biasa aja. Ini kan sudah biasa kita lakukan. Kalau saya kan sudah lama menangani Pemilu. Sengketa itu kan biasa biasa aja," kata Arief di kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/7/2019).
Lebih lanjut, jika dilihat dari data kuantitatif permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tahun 2014 silam, PHPU Pemilu 2019 cukup alami penurunan signifikan.
Dimana pada Pemilu 2014, sebanyak 900 permohonan diajukan ke MK. Sedangkan Pemilu 2019, turun jauh menjadi 339 permohonan saja.
Baca: KPAI Minta Dinas Pendidikan Batasi Penggunaan Medsos di Kalangan Pelajar
"Kalau kita lihat data kuantitatifnya, pemilu 2019 jumlah sengketanya jauh menurun dibandingkan dengan pemilu 2014. Pemilu 2014 itu kalau nggak salah yang masuk 900," kata Arief.
Untuk diketahui dalam PHPU Pemilu 2019, KPU menghadapi 339 permohonan sengketa hasil pemilihan legislatif. Kemudian MK menelaah kembali permohonan tersebut, dan didapat hanya 260 saja yang masuk dalam buku registrasi perkara konstitusi (BRPK) Pileg 2019.
Berikut rincian rekap 250 perkara PHPU Pileg untuk DPR/DPRD dan 10 perkara untuk DPD RI.
1. PKB: 17 perkara
2. P. Gerindra: 21 perkara
3. PDI Perjuangan: 20 perkara
4. P. Golkar: 19 perkara
5. P. NasDem: 16 perkara
6. P. Garuda: 9 perkara
7. P. Berkarya: 35 perkara
8. PKS: 13 perkara
9. P. Perindo: 11 perkara
10. PPP: 13 perkara
11. PSI: 3 perkara
12. PAN: 16 perkara
13. P. Hanura: 14 perkara
14. P. Demokrat: 23 perkara
15. PA: 1 perkara
16. P. SIRA: 1 perkara
17. PDA: 1 perkara
18. PNA: 1 perkara
19. PBB: 12 perkara
20. PKP Indonesia: 3 perkara
21. Pihak Lain: 1 perkara
Rekap Perkara PHPU DPD RI
1. Provinsi Sumatera Utara: 2 perkara
2. Provinsi Nusa Tenggara Barat: 1 perkara
3. Provinsi Sulawesi Tenggara: 1 perkara
4. Provinsi Maluku Utara: 2 perkara
5. Provinsi Papua: 3 perkara
6. Provinsi Papua Barat: 1 perkara.