Saat persidangan hadir saksi ahli, seorang pakar ITE, Mas Teguh Afriyadi. Mas Teguh mempunyai sertifikat resmi sebagai pakar ITE dan kabarnya juga terlibat dalam penyusunan UU ITE. Dalam kesaksiannya sebagai saksi ahli, Mas Teguh mengungkapkan bahwa saya tidak terbukti menyebarkan atau melakukan perbuatan yang dapat dipidana dengan UU ITE Pasal 27 ayat (1).
Lalu, dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Republik Indonesia, Mbak Sri Nurherwati, menyatakan dan mengungkapkan bahwa saya sebenarnya adalah korban kekerasan seksual.
Akhirnya, pada tanggal 26 Juli 2017, Majelis Hakim PN Mataram yang diketuai oleh Bapak Albertus Usada dan Hakim Anggota, yaitu Bapak Ranto Indra Karta dan Bapak Ferdinand M. Leander, memutuskan bahwa saya, Baiq Nuril Maknun, “tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Penuntut Umum.”
Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan pula bahwa saya dibebaskan dari dakwaan Penuntut Umum, serta memerintahkan saya dibebaskan dari tahanan kota, segera setelah putusan tersebut dijatuhkan.
Bapak Presiden, ada satu kalimat putusan Majelis Hakim yang saya baca berulang kali, yaitu “memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya.”
Kalimat yang terus memenuhi hati dan pikiran saya. Ternyata yang saya alami, harus saya perjuangkan, bukan semata karena saya korban prilaku atasan. Kasus yang saya alami, ternyata soal harkat dan martabat saya sebagai manusia.
Namun, putusan Majelis Hakim PN Mataram tersebut dibatalkan pada tanggal 26 September 2018 oleh Mahkamah Agung yang menyatakan mengabulkan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Pada tanggal 4 Januari 2019, saya melalui Kuasa Hukum memutuskan untuk mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Tanggal 4 Juli 2019, Mahkamah Agung menyatakan menolak PK yang saya ajukan.
Tapi, saya tidak akan pernah menyerah. Sekali lagi bagi saya perjuangan ini adalah perjuangan untuk menegakan harkat martabat kemanusiaan di negara tercinta ini. Saya selalu yakin kebenaran pasti akan terungkap dan keadilan pasti akan terjadi.
Bapak Presiden, saya hanya tamatan SMA. Tapi, pengalaman pahit selama kurang lebih enam tahun ini telah menjadi guru terbaik saya. Berbagai dukungan pun mengalir tanpa pernah saya rencanakan atau pikirkan. Hal itu yang membuat saya semakin bertekad tidak akan pernah menyerah.
Saya belajar untuk memahami bahwa hal yang saya lakukan bersama dengan kuasa hukum dan kawan-kawan di seluruh tanah air, bahkan mereka yang bersimpati dari luar negeri, ternyata bukan tentang saya pribadi.
Lalu, saya belajar bahwa ini bukan lagi perjuangan pribadi, yaitu sekedar untuk memenuhi keinginan lolos dari jerat hukum yang tidak adil bagi saya sebagai korban. Ini perjuangan kami. Dan, saya pun belajar “kami menjadi kita”, saat saya menyaksikan Bapak di media mengatakan bahwa Bapak mendukung saya menemukan keadilan.
Perjuangan saya menjadi perjuangan kami. Perjuanagn kami menjadi perjuangan kita, saat Bapak pun berulangkali tanpa ragu menyatakan akan memberikan amnesti kepada saya.
Saya yakin, Bapak Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara menyampaikan niat mulia tersebut bukan karena “air mata” saya sebagai korban (yang tanpa mampu saya bendung mengalir, saat saya harus bercerita di hadapan media tentang peristiwa traumatik yang saya alami).
Saya sebagai rakyat kecil sangat yakin, niat mulia Bapak memberikan amnesti kepada saya didasari karena jiwa kepemimpinan Bapak yang menyadari keputusan amnesti tersebut merupakan bentuk kepentingan negara dalam melindungi dan menjaga harkat martabat rakyatnya sebagai manusia.
Bapak Presiden, saya dan suami saya memilih Bapak kembali sebagai Presiden Republik Indonesia, karena kami percaya kepada kepada Bapak. Kami percaya Bapak adalah pemimpin yang selalu berpijak pada konstitusi. Keputusan yang akan Bapak putuska, berupa amnesti bagi saya, bukan karena belas kasihan semata, bukan pula karena saya sebagai korban telah “mengemis” kepada Bapak sebagai Presiden, bahkan bukan pula karena desakan pihak mana pun.
Saya yakin kepada Bapak, keputusan yang Bapak Presiden ambil didasari oleh kesetiaan Bapak terhadap konstitusi Undang_undang Dasar 1945. Kesetiaan pada konstitusi tersebut pula yang menjadi dasar saat Bapak Presiden memutuskan nasib saya.
Saya sangat yakin, niat mulia Bapak memberi amnesti kepada saya adalah demi kepentingan negara. Kepentingan negara dalam penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan yang lebih besar dan dapat menghadirkan kemaslahatan yang lebih luas bagi rakyatnya. Pemberian amnesti kepada saya merupakan bentuk kepentingan negara untuk mengakui dan melindungi harkat dan martabat kemanusiaan rakyatnya.
Bapak yang saya banggakan, saya yakin yang menjadi dasar utama dan pertama Bapak sebagai Presiden memiliki niat mulia memberi amnesti kepada saya adalah mandat dari konstitusi. Amnesti, menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 14 ayat (2) hanya dapat diberikan dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Menurut Kuasa Hukum saya, DPR RI harus menunggu surat dari Bapak agar dapat memberikan pertimbangan.
Saya diminta bersabar, karena setelah itu, baru Bapak Presiden dapat memberikan keputusan memberi atau tidak memberi amnesti kepada saya. Saya yakin, seyakin-yakinnya, tidak ada keraguan setitik pun dalam diri Bapak untuk mengirimkan surat kepada DPR RI.
Dan saya yakin, tidak ada satu orang pun di lingkaran Bapak Presiden yang akan menghalangi niat mulia Bapak untuk menjalankan konstitusi memberikan amnesti kepada saya. Saya juga yakin, pengiriman surat Bapak Presiden ke DPR RI tidak akan menemui masalah teknis. Semoga.
Yang mulia Bapak Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. Haji Joko Widodo, saya, Baiq Nuril Maknum. Saya bukan hanya sebagai korban, tetapi juga sebagai rakyat Bapak yang telah memilih Bapak. Saya selalu memberikan dukungan penuh kepada Bapak. Saya akan terus berjuang bersama Bapak untuk menegak keadilan dan kemanusiaan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia di republik tercinta ini.
Saya, Baiq Nuril Maknun. Saya seorang perempuan, putri dari Bapak Lalu Mustajab dan Ibu Baiq Murni Wati. Saya adalah istri dari Lalu Muhammad Isnaeni. Saya adalah ibu dari Baiq Raina Asli Hati, Baiq Rayda Mahya Izati dan Lalu Muhammad Rafi Saputra. Saya adalah rakyat Indonesia.
Melalui surat ini saya menyatakan:
Saya, Baiq Nuril Maknun
sangat berterima kasih dan mendukung
niat mulia Bapak Presiden Joko Widodo
yang akan menggunakan hak prerogatif sebagai Presiden Republik Indonesia untuk menjalankan amanah konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 14 ayat (2), yaitu dengan memberikan amnesti kepada saya, Baiq Nuril Maknun.
Semoga Bapak Presiden selalu ada dalam lindungan Allah SWT dalam memimpin Indonesia, membawa Indonesia menjadi negeri yang adil dan makmur.
Wassalamu’alaikum, Wr, Wb.
Jakarta, 15 Juli 2019
Baiq Nuril Maknun
3. Peluang amnesti
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menuturkan, terpidana kasus penyebaran konten bermuatan asusila Baiq Nuril berpeluang diberikan amnesti oleh Presiden Joko Widodo.
Hal itu merupakan inti dari pendapat hukum yang telah diserahkan pihak Kemenkumhan kepada Presiden Jokowi.
"Dari kemenkumham melihat ada peluang untuk memberikan amnesti," ujar Yasonna saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/7/2019).
Baiq Nuril meminta amnesti dari Presiden Joko Widodo setelah peninjauan kembali yang diajukannya ditolak MA.
Menanggapi hal tersebut, Yasonna menyusun pendapat hukum bersama sejumlah pakar hukum untuk memperkuat argumentasi amnesti yang akan diberikan Jokowi.
Menurut Yasonna, ada dua pandangan terkait pemberian amnesti bagi Baiq Nuril.
Jika melihat dari preseden hukumnya, amnesti diberikan pada kasus tindak pidana atau kejahatan yang berkaitan dengan politik.
Selain itu pemberian amnesti juga kerap diberikan kepada kelompok yang diduga atau sudah menjadi terpidana suatu kejahatan politik.
Namun, ada yang juga berpandangan amnesti dapat diberikan atas dasar pertimbangan rasa keadilan di masyarakat.
Pasalnya, banyak pihak justru Baiq Nuril merupakan korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh atasannya.
Lagipula, Baiq Nuril sempat divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Mataram.
"Nah ini kan yang kami lihat dari segi rasa keadilan masyarakat.Kami juga mendengar pakar IT ya resmi dari Kemenkominfo yang melihat juga pidananya. Itu sebabnya dibebaskan pada tingkat pengadilan negeri," kata Yasonna.
(Tribunnews.com/Chrysnha, Seno Tri) (Kompas.com/Ihsanudin, Kristian Erdianto)