Penyebaran konten hoaks dinilai dapat ditangkal melalui media massa arus utama (mainstream) untuk tetap menjadi penjaga informasi.
Media mendistribusikan informasi dalam bentuk berita yang bisa dipertanggung jawabkan secara kaidah jurnalistik.
"Semua orang bisa jadi wartawan, kan tidak semuanya baik-baik. Ada juga penjahat, ada yang anti Pancasila, dan lain-lain."
"Apa yang telah terjadi? Di sosmed banyak sekali konten yang isinya sampah, yakni hoaks, oleh karena itu masyarakat perlu di beri literasi tentang apa yang disebut hoax, bagaimana regulasinya, ada UU ITE dan lain-lain," ujar Staf Ahli Menkominfo Bidang Hukum, Hendri Subiakto, di Demang Caffe, Thamrin, Jakarta, Minggu (14/7/2019).
Hendri melanjutkan penanganan hoaks mencakup dari hulu, seperti literasi melalui diskusi publik. Selain itu ada media yang membuat fact checker, lembaga-lembaga, dan penegakan hukum.
Saat ini pemerintah tengah menggodok sanksi bagi platform sosial media atau chatting yang membiarkan hoaks beredar.
“Disini juga kita tekankan kepada platformnya, kalau ada hoaks, yang beredar di Facebook, mereka akan kita ingatkan supaya mereka punya mekanisme tidak membiarkan platformnya dipakai," ungkap Hendri.
Sementara itu, Pemimpin redaksi harian Suara Pembaruan Aditya L Djono mengatakan poin terakhir atau penegakan hukum adalah yang terpenting dalam menangkal hoaks.
“Harus ada formulasi aturan yang bisa membatasi secara ketat, sekaligus memberikan sanksi secara tegas bagi yang menyebarluaskan informasi tidak benar. Hal ini untuk memberikan efek jera,” tutur Aditya.
Lewat penegakan hukum, para penyebar hoaks bisa mendapatkan efek jera.