KPK juga menyangka Sofyan meminta direktur di PLN tersebut untuk memonitor terkait proyek tersebut lantaran ada keluhan dari Kotjo tentang lamanya penentuan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis.
Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Atas perbuatan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Sofyan Basir, Direktur Utama PLN nonaktif, mengatur pertemuan untuk membahas pemufakatan jahat suap kontrak kerjasama proyek PLTU Riau-1.
Sofyan Basir mengatur pertemuan antara Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham, dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisn Kotjo, dengan jajaran Direksi PT PLN.
JPU pada KPK menjelaskan, Sofyan Basir memfasilitasi pertemuan Eni, Idrus, dan Kotjo dengan jajaran Direksi PT PLN untuk mempercepat proses kesepakatan proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dengan BNR, Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited yang dibawa oleh Kotjo.
Padahal, kata JPU pada KPK, terdakwa mengetahui Eni dan Idrus akan mendapat sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Kotjo, sehingga Eni, selaku anggota Komisi VII DPR RI dan Idrus menerima hadiah berupa uang secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp 4,75 miliar.
Pada dakwaan pertama, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir melanggar Pasal 12 huruf a jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP.
Ataupun pada dakwaan kedua, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir melanggar Pasal 11 huruf a jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP.