TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Kawal Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) yang terdiri dari tujuh kelompok masyarakat sipil menilai Panitia Seleksi (Pansel) calon pimpinan lembaga antirasuah tutup kuping dari masukan masyarakat.
Kondisi ini disebabkan proses seleksi pimpinan KPK yang menyisakan berbagai persoalan serius.
Mulai dari tindakan atau pernyataan pansel, proses seleksi, hingga calon-calon yang tersisa hingga sejauh ini.
Perwakilan Koalisi Kawal Capim KPK Kurnia Ramadhana mencatat sejumlah hal yang dilakukan pansel selama proses pemilihan calon pimpinan.
Baca: Koalisi Kawal Capim KPK Menduga Tim Pansel Punya Konflik Kepentingan
Baca: IPW: Pansel Tak Perlu Pertahankan Petahana Pimpinan KPK
“Pertama, pansel seakan tidak menghiraukan masukan dari berbagai elemen masyarakat. Respons yang diberikan oleh pansel acapkali negatif dan defensif padahal penyikapan atas langkah-langkah pansel dalam penyaringan pimpinan KPK. Bukan hanya oleh kalangan masyarakat sipil antikorupsi. Namun sudah mencakup perwakilan organisasi agama hingga mantan pimpinan KPK,” jelas Kurnia di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu (25/8/2019).
Hal lain, pada 25 Juni 2019 pansel menghembuskan isu radikalisme pada proses pemilihan pimpinan KPK.
Padahal, hal itu sama sekali tidak relevan. Karena seharusnya yang disuarakan oleh Pansel adalah aspek integritas.
“Posisi ini memperlihatkan keterbatasan pemahaman pansel akan konteks dan mandat KPK sebagai penegak hukum,” imbuhnya.
Selanjutnya ada sejumlah penegak hukum aktif menjadi pimpinan KPK. Pada 26 Juni 2019 Koalisi mencatat pansel menyebutkan bahwa lebih baik pimpinan KPK ke depan berasal dari unsur penegak hukum.
Alasan pansel, lantaran penegak hukum dipandang lebih berpengalaman dalam isu pemberantasan korupsi.
Meski logika tersebut dinilai keliru karena seakan pansel tidak paham dengan original intens pembentukan KPK.
“Sejarahnya KPK dibentuk karena lembaga penegak hukum konvensional tidak maksimal dalam pemberantasan korupsi. Pertanyaan lebih jauhnya adalah apa saat ini penegak hukum lain telah baik dalam pemberantasan korupsi. Berbagai penelitian dan survei masih menempatkan penegak hukum di peringkat bawah untuk penilaian masyarakat dalam pemberantasan korupsi,” tegas Kurnia.
Selain itu, pansel kerap menyebutkan bahwa isu kepatuhan terhadap pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tidak dijadikan faktor yang menentukan dalam proses seleksi pimpinan KPK.
Menurutnya pansel tidak memahami untuk mengukur integritas seorang penyelenggara negara atau pun penegak hukum, salah satu indikator yang digunakan adalah kepatuhan LHKPN. Dikatakan, LHKPN merupakan perintah undang-undang kepada setiap penyelenggara negara maupun penegak hukum.
Terhadap 20 orang capim KPK yang lolos profile assessment, koalisi menilai mereka tidak mencerahkan masa depan pemberantasan korupsi.
“Lolosnya 20 calon yang pada tahapan ini tidak menggambarkan masa depan cerah bagi KPK. Masih ada calon di antara 20 nama tersebut yang tidak patuh melaporkan LHKPN. Bahkan beberapa nama mempunyai catatan kelam di masa lalu. Ini mengartikan bahwa Pansel tidak mempertimbangkan isu rekam jejak dengan baik,” beber Kurnia.
Koalisi Kawal Capim KPK terdiri atas Indonesia Corruption Watch, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi.