Bahkan ia memberikan keleluasaan bagi warga Papua untuk mengekspresikan identitas kebudayaannya, misalnya pengibaran bendera Bintang Kejora.
Pada akhir 2001, muncul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua).
Dalam Pasal 2 UU Otsus Papua tertulis bahwa Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
Gus Dur juga mengizinkan masyarakat Papua menggelar kongres Rakyat Papua II dan memberikan bantuan dana.
Baca: Disebut Dicintai Orang Papua, Gus Dur Lakukan 3 Hal untuk Papua: Sumbang Rp 1 M hingga Ubah Nama
Bagi warga Papua, kongres itu merupakan ruang demokrasi untuk mengaktualisasikan identitas diri mereka.
"Ketika Beliau memiliki otoritas sebagai presiden, Beliau kemudian membalik cara pandangnya. Cara pandang Jakarta yang mengganggap Papua itu dalam tanda kutip anak nakal yang tertinggal," kata Alissa.
"Gus Dur mengingatkan kita semua bahwa Papua itu martabatnya sama. Itu yang harus berubah, bagaimana melihat Papua," tutur dia.
(Kompas.com/Kristian Erdianto)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Menurut Gus Dur yang Salah Itu Jakarta, Bukan Orang Papua..."")