Setiap zaman selalu memproduksi semesta simbolik yang menjadi representasi dari zamannya.
"zaman raja-raja, itu simbolnya mitis, kepatuhan, raja dianggap wakil Tuhan, wakil dari dewa-dewa yang mewujud untuk mengatur kehidupan manusia," tuturnya.
Misalnya, orang tidak boleh menggunakan nama secara sembarangan.
Lepas dari zaman itu, masuk ke era industrialisasi.
Di era ini berubah menjadi mitis modern tetapi individual.
Sementara itu, pada era teknokratis berubah semesta simboliknya yakni menjadi tawar-menawar.
"Manusia berusaha menyesuaikan perilaku dengan perubahan," katanya.
Saat ini di era yang digital, terjadi perubahan yang terlalu cepat.
Menurut Prof Sahid, orang tidak lagi mengenal orang secara langsung, tidak lagi lewat pertemuan langsung.
Gejala-gejala tersebut tak bisa ditahan oleh masyarakat.
Meskipun zaman terus berganti, semesta simbolik tidak serta merta berganti 100 persen.
Baca: Deretan Fakta Rowo Bayu Banyuwangi yang Dikaitkan dengan KKN Desa Penari
Komputer sudah menjadi barang yang digunakan oleh semua masyarakat dewasa ini.
Dalam hal ini perkembangan virtual semakin pesat.
"Setiap orang memiliki kecenderungan untuk menderivasi dirinya sendiri", katanya.
Orang juga disebut cenderung ingin mendapat kesempurnaan dari dunia virtual.
Hal-hal ini kemudian memunculkan adanya hukum virtual yakni UU ITE.
Guru Besar Universitas Sebelas Maret (UNS) ini berpendapat saat ini orang-orang cenderung mempercayai hal-hal yang tidak tampak.
"Padahal zaman tradisional hal itu sudah ada."
"Simbol-simbol masa lalu yang menjadi dasar kehidupan masyarakat utama di Jawa tidak 100 persen berubah," tambahnya.
Hal inilah yang membuat mengapa hal-hal virtual bisa menjadi viral.
"Hal-hal yang sifatnya virtual bisa menjadi viral karena ada rembesan-rembesan masa lalu," katanya.
Satu penyebab lain yakni nilai berita.
Menurut Prof Sahid, orang-orang saat ini sudah tidak tertarik pada hal-hal yang bersifat horizontal.
Misal seperti aktivitas sehari-hari bahkan prestasi seseorang.
"Kemajuan zaman tidak linier 100 persen, adanya rembesan-rembesan masa lalu yang masih ada walaupun dalam generasi yang berbeda," tambahnya.
Saat ditanya mengenai kebenaran cerita KKN Desa Penari, cerita-cerita mengani sosok penari di masa lalu memang ada.
Prof Sahid menambahkan, cerita folklor digunakan sebagai suatu alat untuk mengatur masyarakat.
"Hal itu timbul sebagai alat untuk memaksa masyarakat untuk tidak melakukan sesuatu," katanya.
(Tribunnews.com/Miftah/Citra Agusta Putri Anastasia)