Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Paramadina Djayadi Hanan melihat komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak terlihat dalam Undang-undang KPK hasil revisi.
Terlebih bila Jokowi tidak berniat menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mencabut Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Janji presiden untuk memperkuat KPK justru tidak terlihat di UU KPK hasil revisi," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) ini kepada Tribunnews.com, Selasa (24/9/2019).
Baca: 5 Zodiak Paling Egois, Mereka akan Lakukan Apapun untuk Dapatkan Keinginannya, Kamu Termasuk?
Padahal isu tersebut harusnya menjadi prioritas Jokowi ke depan.
Dengan penolakan untuk meninjau ulang UU KPK tersebut, kata dia, Jokowi sudah menempatkan dirinya berseberangan dengan publik.
Padahal, selama ini kekuatannya ada pada dukungan publik.
"Mungkin Jokowi merasa tidak perlu lagi suara publik karena dia tidak akan nyalon presiden lagi, sehingga dia lebih dengar suara partai," jelasnya.
Baca: Kronologi Penangkapan Dirut Perum Perindo Risyanto Suanda oleh KPK
Ia menjelaskan, KPK mengalami pelemahan signifikan, misalnya melalui instrumen penyadapan yang dalam UU hasil revisi harus seizin dewan pengawas.
"Ini membuat kerja KPK akan lemah. Korupsi di negara kita sulit untuk tertangkap kecuali melalui penyadapan yang diikuti tangkap tangan," jelasnya.
Tak punya rencana terbitkan Perppu
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak memiliki niat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan revisi Undang-Undang KPK yang telah disahkan DPR.
"Enggak ada (rencana terbitkan Perppu)," tutur Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (23/9/2019).
Ketika ditanya soal perbedaan sikap dirinya terhadap revisi UU KPK, Jokowi menyebut revisi UU KPK merupakan inisiatif DPR.