Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid menilai langkah paling tepat menyikapi terbitnya Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah mengajukanuji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia menyarankan Presiden Joko Widodo menunggu putusan MK atas uji materi tersebut. Menurut dia, upaya menunggu putusan itu lebih baik daripada presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
"Jika dikaitkan kondisi objektif bangsa dan negara saat ini, maka dapat disimpulkan langkah mengeluarkan Perppu adalah tidak memenuhi syarat materil konstitusional," kata Fahri, saat dihubungi, Minggu (6/10/2019).
Dia menjelaskan, presiden dapat menerbitkan Perppu apabila ada keadaan darurat atau 'state of emergency’. Secara konseptual, kata dia, keadaan darurat didasarkan doktrin ‘necessity’.
Baca: Barbie Kumalasari Ngelantur Terbang ke AS Hanya 8 Jam, Mantan Suami Mengaku Malu. . .
Doktrin itu mengakui hak setiap negara berdaulat mengambil langkah-langkah diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan integritas negara.
Disebutkan Fahri, hukum tata negara subjektif atau ‘staatsnoodrecht’ dalam arti subjektif adalah hak, yaitu hak negara untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang, dan bahkan apabila memang diperlukan, menyimpang dari Undang-Undang Dasar 1945.
Baca: Barbie Kumalasari Ngelantur Terbang ke AS Hanya 8 Jam, Mantan Suami Mengaku Malu. . .
“Secara doktrin hukum tata negara darurat dapat dikualifisir berdasarkan prinsip ‘actual threats’? ataukah sekurang-kurangnya bahaya yang secara potensial sungguh-sungguh mengancam komunitas kehidupan bersama ‘potential threats’? Hal yang demikian penting untuk diidentifisir sesuai kondisi objektif berdasarkan ajaran hukum/doktrin hukum tata negara darurat,” ujarnya.
Secara konstitusional, dia menjelaskan, pranata penetapan Perppu berdasarkan pada tahapan terjadinya keadaan yang genting. Keadaan yang genting tersebut, lanjut Fahri, memaksa presiden mengambil tindakan secepatnya atau adanya kebutuhan yang mengharuskan “reasonable neccesity”.
Sebab, jika peraturan yang diperlukan untuk menangani situasi genting seperti itu menunggu mekanisme lazim pada DPR memerlukan waktu panjang dan lama ‘limited time’, tindakan hukum yang diambil menyimpang dari prosedur baku di tertib penyusunan UU normal sesuai UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Mengacu pada pasal 22 UUD 1945, dia menegaskan, presiden diberi kewenangan konstitusional menerbitkan Perppu dalam situasi yang demikian. Namun, kata dia, ketentuan hanya menekankan pada anasir-anasir kegentingan yang memaksa.
Kegentingan yang memaksa, yaitu element ‘reasonable neccesity’ dan serta ‘limited time’ dan tidak menekankan pada sifat dan derajat bahayanya ancaman “dangerous threat”, dalam konteks keadaan darurat ‘legal reasoning’ untuk membuat rezim regeling yang bersifat khusus adalah harus adanya sifat bahaya “dangerous threat” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 12 UUD NRI Tahun 1945, dan disertai oleh kebutuhan “reasonable neccesity” serta kegentingan waktu “limid time”sebagaimana diatur dalam pasal 22.
“Dikaitkan tuntutan berbagai elemen masyarakat agar presiden mengambil kebijakan mengeluarkan Perppu, tidak sejalan prinsip-prinsip konstitusionalisme, dan berpotensi membahayakan lembaga-lembaga demokrasi serta mengancam kewibawaan presiden sebagai “The Sovereing Power”atau presiden selaku “The Sovereing Executif” berdasarkan logika hukum tata negara darurat,” kata dia.
Dia mengungkapkan, MK pernah menerbitkan putusan mengenai syarat-syarat konstitusional sebagai ukuran keadaan “Kegentingan yang memaksa” bagi presiden untuk menerbitkan Perppu.
Hal ini tertuang di putusan nomor :138/PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari 2010.